Jumat, 28 Januari 2011

FASAKH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengangkat judul “Fasakh” dengan alasan sebagai media pemahaman bagi punulis maupun pembaca sekalian yang belum mengetahui pengertian dan pelaksanaan fasakh.
Manfaat dari pengangkatan judul makalah ini adalah sebagai sarana pengetahuan bagi penulis dan pembaca untuk memahami pengertian, pelaksanaan dan hukum fasakh.
Adapun sumber yang penulis dapatkan mengenai judul makalah yang penulis angkat dalam penulisan makalah ini adalah dari sebuah buku karangan Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminudin yang berjudul “Fiqih Munakahat 2”. Selain dari buku Fiqih Munakahat 2 penulis juga melibatkan sumber-sumber lain yang tentunya berkaitan dengan judul tersebut seperti Al-Quran, Internet dan lain sebagainya.
Bagian yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini mencakup pengertian fasakh, pelaksanaan fasakh, dan akibat hukum fasakh. Berikut penulis uraikan sedikit pengertian fasakh.
Fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan pada hakikatnya fasakh ini lebih keras daripada khuluk, dan tidak ubahnya seperti melakukan khuluk juga. Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaannya adalah khuluk diucapkan oleh suami sendir, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebaginya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti: Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tigan hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Sebab ada talak ba’in dan talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi’i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan Imam Malik mengatakan, “Harus menunggu selama satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan “Harus menunggu selama satu tahun.”
B.     Tujuan
Tujuan dari penulisan dan pengangkatan judul makalah ini adalah terciftanya sebuah pemahaman baru; upaya membentuk manusia yang mengerti dan memahami mengenai masalah-masalah hukum islam yang salah satunya mengenai hukum-hukum pernikahan yang di dalamnya terdapat materi Fasakh yang mencakup pengertian, pelaksanaan dan akibat hukum fasakh.
Tujuan lain dari penulisan makalah ini adalah guna melengkapi materi pembelajaran yang diberikan oleh Dosen kepada para Mahasiswanya sebagai salah satu tugas mandiri di STAI Sukabumi.
C.    Rumusan Masalah
Supaya tidak terlalu melebar mengenai pembahasan dalam materi makalah ini, penulis membatasinya sebagai berikut:
1.      Pengertian Fasakh
2.      Pelaksanaan Fasakh
3.      Akibat Hukum Fasakh
Untuk lebih dapat memahami sedikit penjelasann di atas, marilah kita simak dari pembahasan yang penulis sampaikan di bawah ini mengenai fasakh.

BAB II
PEMBAHASAN

FASAKH
A.    Pengertian Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh akad nikah adalah memutuskan dan membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1.      Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.       Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusunan pihak suami.
b.      Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu dan mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiti ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a.       Bila dari salah seorang suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b.      Jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
3.      Sebab-sebab terjadinya fasakh.
Disamping fasakh terjadi karena kedua syarat-syarat tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang menyebabkan juga terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:
a.       Karena ada balak (penyakit belang kulit)
Rasulullah saw. Bersabda:
 atinya:
“Dari kaab bin Zaid ra. bahwasannya Rosulullah saw. telah menikahi salah seoranng perempuan bani Gafar. Maka tatkala ia akan besetubuh dan perempuan itu telah meletakan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutuplah badan engkau, dan beliau tidak meyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.”                      (H.R. Ahmad dan Baihaqi)

Menurut ketengan disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif. Dalam hal ini pengarang kitab sabulussalam berkata, “mengenai hal-hal yang membolehkan berpalingnya seseorang (suami atau istri) dalam perkawinan timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama.”
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa, tiap-tiap aib menyebabkan berpalingnya suami atau istridan tidak tercapainya hubungan harmonis dalam perkawinan ini dibolehkannya khiyar (memilih atau meneruskan perkawinan itu stau tidak). Dan inilah khiyar yang utama daripada khiyar dalam jual beli.
Sebagaimana halnya syarat-syarat yang disebutkan dalam perkawinan adalah lebih utama disempurnakan daripada syarat-syarat yang disebutkan dalam jual beli.
b.      Karena gila
c.       Karena canggu (penyakit kusta)
Nabi Muhammad saw., bersabda:
 Artinya:
Dari Umar r.a berkata, “bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, atau kusta, atau balak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahinya dengan sempurn. Dan demikian itu hak bagi suaminya hutang bagi walinya.”
(H.R. Malik dan Asy Syafi’i)
d.      Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC dan lain-lain.
Dijelaskan dalam suatu riwayat:
Artinya:
Dari syaid bin Musayyabah r.a berkata, “barang siapa diantara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki ini ada tanda-tanda gila, atgau ada tanda-tanda yang dapat membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih. Jika dikehendakinya boleh bercerai”
(H.R. Syaid bin Mansur)
e.       Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (besetubuh).       
Artinya:
Dari Ali r.a beliau berkata, “Barang siapa laki-laki yang mengawini perempuan lalu dukhul dengan perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak, gila, atau berpenyakit kusta, maka hak baginya maskawinnya dengan sebab menyentuh (mencampuri) perempuan itu, dan mas kawin itu hak bagi suami (supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh (di farjinya, hingga menghalangi jima’) suami itu boleh khiyar. Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya mas kawin sebab barang yang telah dilakukannya dengan farjinya.”
(H.R. Sa’id bin Mansur)
f.       Karena unah, yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima’), sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksud dengan nikah.
Artinya:
Dari Sa’id bin Musayyad r.a berkata, “Umar bin Khatab telah memutuskan bahwasannya laki-laki yang unah diberi janji satu tahun.”
(H.R. Sa’id bin Mansur)
Diberi janji satu tahun, ditujukan agar mengetahui dengan jelas bahwa suami itu nah atau tidak, atau mungkin bisa sembuh. Juga diqiaskan dengan aib yang enam macam berikut ini; aib-aib yang lain yang menghalangi maksud perkawinan baik dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah : 231 sebagai berikut:
  
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[*]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[*] Umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung.

Fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan pada hakikatnya fasakh ini lebih keras daripada khuluk, dan tidak ubahnya seperti melakukan khuluk juga. Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaannya adalah khuluk diucapkan oleh suami sendir, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.

Disamping itu fasakh juga bisa terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:
a.       Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
b.      Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan brlanja sedang istrinya itu tidak rela.
c.       Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya itu oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat ataupun karena mas kawinya belum dibayarkannya sebelum campur.

B.     Pelaksaan Fasakh
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebaginya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah:
1.      Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti: Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya, seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Artinya:
“Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara, tentang laki-laki yang telah jauh dari isteri-isteri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap merekaagar mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan isterinya. Maka bila mmreka telah menceraikannya, hendaklah mereka kirim semua nnafkah yang telah mereka tahan”.
(H.R. Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi)

2.      Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tigan hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya
Rosulullah SAW bersabda :
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah Saw. bersabda tentang yang tidak memperoleh apa yang telah dinafkahkannya kepada isterinya, bolehlah keduanya bercerai.”
(H.R. Darutqutni dan Al-Baihaqi)
Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam sebagai berikut:
1.      Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yeng mwlanggar hukum.
2.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, maka bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
 Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a.       Par keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.      Suami atau isteri
c.       Pejabat yang berwenang mengatasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
2.      Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah Putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya pernikahan.
 C.    Akibat Hukum Fasakh
 Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Sebab ada talak ba’in dan talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
 Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.
 Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
 Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebutmenikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap memiliki kesempatan tiga kali talak.
 Ahli fiqih golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami isteri sebab talak dan sebab fasakh. Mereka berkata “Pisahnya suami isteri karena suami, dan sama sekali tidak ada penngaruh isteri disebut talak.” Dan setiap perpisahan  suami isteri karena isteri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari isteri disebut fasakh.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Syafi’i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan Imam Malik mengatakan, “Harus menunggu selama satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan “Harus menunggu selama satu tahun.”
 Semua itu maksudnya adalah selama masa tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila isteri tidak rela lagi.
 Kalau si isteri mau menunggu, dan rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya
.Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: “Aku fasakhkan nikahmu dari sujamimu yang bernama ... bin ... pada hari ini”
 Kala fasakh itu dilakukan oleh isteri sendiri di muka hakim, maka ia berkata: “Aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama ... bin ... pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagidengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.
 BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas penulis dapat menginklusikan bahwa pengertian fasakh adalah membatalkan sebuah hubungan antara suami dan isteri yang bisa terjadi saat berlangsungnya pernikahan karena suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. maupun setelah melaksanakan pernikahan karena dari salah seorang suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebutmenikah dengan akad baru lagi, maka suamu tetap memiliki kesempatan tiga kali talak.
B.     Penutup
Mungkin hanya itu kesimpulan yang dapat penulis inklusikan yang sekaligus menutup makalah ini. Akhirnya penulis ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan / penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam penulisan makalah berikutnya supaya menjadi lebih baik dan menjadikan karya tulis yang berkualitas bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
C.    Saran-Saran
Jangan menjadikan kesimpulan dalam makalah ini sebagai penutup materi makalah ini, silahkan pembaca cari lebih detail lagi dari sumber lain mengenai materi fasakh agar dalam pencarian ilmu pengetahuan tidak ada kata “berhenti”. Carilah ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya tetapi jangan jadikan ilmu pengetahuan tersebut sebagai perusak akidah kita sebagai umat islam.
“Ingat” Jangan pernah berhenti mencari Ilmu Pengetahuan karena sebenarnya ilmu pengetahuan tidak pernah dibatasi. orang yang berhenti dalam pencarian ilmu pengetahuan adalah pengecut yang telah membunuh dirinya. Allah saja tidak pernah membatasi ilmu pengetahuan, kecuali manusia itu sendiri yang membatasinya.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Aminudin dan Drs. Slamet Abidin, “Fiqih Munakahat 2”. CV Pustaka SetiaBandnung. 1999.
Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah” Daarul Fikri, Bairut,1970

Tidak ada komentar:

Posting Komentar