Rabu, 11 Maret 2015

DIMENSI KEKHALIFAHAN MANUSIA

Sebagai khalifah, manusia diamanatkan untuk memakmurkan kehidupan di bumi (QS. 11:61), yakni menciftkan suatu kondisi yang diamanatkan itu, setidaknya manusia perlu memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengawasi kehidupan di bumi beserta segala kehidupannya. Atas dasar ini, maka manusia diberi tanggungjawab untuk memelihara, mengayomi dan menggunakannya dengan baik (M.Quraish Shihab, 1992:320), dengan tidak mengabakan keharmonisan tatanan dan kemajemukan yang terdapat di dalamnya. Bila ketentuan itu dilanggar, maka manusia akan mengalami suatu kondisi kehidupan yang berimbas pada penurunan tingkat kemuliaan yang disandangnya. Manusia akan mengalami kehinaan dalam hidupnya dimanapun mereka berada (QS. 3:112).

Gejala ke arah itu mulai tampak. Bebagai kasus yang menyiarkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) muncul tak berkesudahan. Masalah kependudukan dan lingkungan hidup menjadi bagian dari kecemasan banyak negara. Kondisi yang dihadapi ini tampaknya sudah demikian mencemaskan, hingga perlu diagendakan sebagai permasalahan kemanusiaan. Berbagai pertemuan Internasional telah diselenggarakan dalam upaya menemukan solusi yang efektif. tampaknya upaya yang disertai dengan kesungguhan yang optimal belum banyak membuahkan hasil.

Pertemuan dalam skala lokal, regional maupun internasional mengetengahkan pemikiran para pakar dari berbagai disiplin ilmu. tapi jarang menyinggung pendekatan keagamaan, khususnya islam. Barangkalo dalam pendangan sementara pengamat dan para tokoh intelektual, islam tak lebih dari sebuah doktrin yang berisi ajaran islam semata. Berbeda dengan pandangan H.R. Gibb yang menyatakan bahwa "Islam bukan hanya berisi ajaran-ajaran yang bersifat teologi, melainkan juga merupakan sebuah sistem peradaban yang lengkap (M. Natsir, 1975:15)".

Demikian pula, Edwar Montimer (1985:15), melainkan bahwa "Islam sebagai pemegang hegemoni peradaban dunia selama hampir sepuluh abad". Bahkan dalam peradaban Hodson, jika ingin dikatakan secara jujur, kelahiran abad modern bukanlah di Eropa Barat Laut (Inggris), melainkan di Cina atau Dunia Islam. Cina menurutnya telah memiliki latar belakang kebudayaan tinggi. Sedangkan dunia Islam telah siap denga puluhan ribu tenaga intelektual dalam berbagai disiplin ilmu (Nurcholish Madjid, 1986:52-26).

Pengutusan Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa misi rahmat li al-'alamin (QS. 21:108), barangkali cukup absah untuk dijadikan bahan renungan dan rujukan dalam menata tatanan kehidupan dunia ke depan. Sejarah telah membuktikan, bagaimana keberhasilan tokoh besar dunia itu (baca, Nabi Muhammad Saw) menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis di lingkungan masyarakat majemuk di Madinah. Negara Madinah yang didukung oleh masyarakat madani (menetap dan berperadaban), dinyatakan oleh AL-Qur'an sebagai masyarakat manusia (umat) terbaik yang penopangnya, yaitu: 1) anjuran (melalui teladan) untuk membuat ma'ruf ; 2) pencegahan perbuatan munkar; 3) beriman kepada Allah (QS. 3:110).

Kegaduhan dunia yang tak berkesudahan sulit menemukan solusi yang tepat. Sehubungan dengan itu, kajian khusus tentang doktrin Islam sudah saatnya dilakukan secara intensif dan kontekstual, dalam bentuk rumusan dan konsep yang layak dipakai, dengan harapan dijadikan rujukan. Islam sebenarnya sudah sejak awal mengajukan tawaran yang bersifat solutif dalam mengatasiproblem kehidupan dan kemanusiaan.

Nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan kaum manusia tampaknya memang baru teradopsi dalam bentuk serpihan yang terpisah dan terbatas padamasalah ibadah mahdhah, yang langsung dikaitkan dengan kepentingan kehidupan akhirat. Kaum muslim seakan telah "memasung" nilai-nilai ajaran agamanya , hingga tak diperbolehkan bergerak ke kawasan "luar pagar". Dengan demikian prinsip harmonisasi dari ajaran Islam menjadi tak tersentuh.

Sumber : Buku Islam Humanis hal. 28