Jumat, 28 Januari 2011

FASAKH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengangkat judul “Fasakh” dengan alasan sebagai media pemahaman bagi punulis maupun pembaca sekalian yang belum mengetahui pengertian dan pelaksanaan fasakh.
Manfaat dari pengangkatan judul makalah ini adalah sebagai sarana pengetahuan bagi penulis dan pembaca untuk memahami pengertian, pelaksanaan dan hukum fasakh.
Adapun sumber yang penulis dapatkan mengenai judul makalah yang penulis angkat dalam penulisan makalah ini adalah dari sebuah buku karangan Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminudin yang berjudul “Fiqih Munakahat 2”. Selain dari buku Fiqih Munakahat 2 penulis juga melibatkan sumber-sumber lain yang tentunya berkaitan dengan judul tersebut seperti Al-Quran, Internet dan lain sebagainya.
Bagian yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini mencakup pengertian fasakh, pelaksanaan fasakh, dan akibat hukum fasakh. Berikut penulis uraikan sedikit pengertian fasakh.
Fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan pada hakikatnya fasakh ini lebih keras daripada khuluk, dan tidak ubahnya seperti melakukan khuluk juga. Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaannya adalah khuluk diucapkan oleh suami sendir, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebaginya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti: Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tigan hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Sebab ada talak ba’in dan talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi’i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan Imam Malik mengatakan, “Harus menunggu selama satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan “Harus menunggu selama satu tahun.”
B.     Tujuan
Tujuan dari penulisan dan pengangkatan judul makalah ini adalah terciftanya sebuah pemahaman baru; upaya membentuk manusia yang mengerti dan memahami mengenai masalah-masalah hukum islam yang salah satunya mengenai hukum-hukum pernikahan yang di dalamnya terdapat materi Fasakh yang mencakup pengertian, pelaksanaan dan akibat hukum fasakh.
Tujuan lain dari penulisan makalah ini adalah guna melengkapi materi pembelajaran yang diberikan oleh Dosen kepada para Mahasiswanya sebagai salah satu tugas mandiri di STAI Sukabumi.
C.    Rumusan Masalah
Supaya tidak terlalu melebar mengenai pembahasan dalam materi makalah ini, penulis membatasinya sebagai berikut:
1.      Pengertian Fasakh
2.      Pelaksanaan Fasakh
3.      Akibat Hukum Fasakh
Untuk lebih dapat memahami sedikit penjelasann di atas, marilah kita simak dari pembahasan yang penulis sampaikan di bawah ini mengenai fasakh.

BAB II
PEMBAHASAN

FASAKH
A.    Pengertian Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh akad nikah adalah memutuskan dan membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1.      Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a.       Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusunan pihak suami.
b.      Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu dan mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiti ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a.       Bila dari salah seorang suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b.      Jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
3.      Sebab-sebab terjadinya fasakh.
Disamping fasakh terjadi karena kedua syarat-syarat tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang menyebabkan juga terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:
a.       Karena ada balak (penyakit belang kulit)
Rasulullah saw. Bersabda:
 atinya:
“Dari kaab bin Zaid ra. bahwasannya Rosulullah saw. telah menikahi salah seoranng perempuan bani Gafar. Maka tatkala ia akan besetubuh dan perempuan itu telah meletakan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutuplah badan engkau, dan beliau tidak meyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.”                      (H.R. Ahmad dan Baihaqi)

Menurut ketengan disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif. Dalam hal ini pengarang kitab sabulussalam berkata, “mengenai hal-hal yang membolehkan berpalingnya seseorang (suami atau istri) dalam perkawinan timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama.”
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa, tiap-tiap aib menyebabkan berpalingnya suami atau istridan tidak tercapainya hubungan harmonis dalam perkawinan ini dibolehkannya khiyar (memilih atau meneruskan perkawinan itu stau tidak). Dan inilah khiyar yang utama daripada khiyar dalam jual beli.
Sebagaimana halnya syarat-syarat yang disebutkan dalam perkawinan adalah lebih utama disempurnakan daripada syarat-syarat yang disebutkan dalam jual beli.
b.      Karena gila
c.       Karena canggu (penyakit kusta)
Nabi Muhammad saw., bersabda:
 Artinya:
Dari Umar r.a berkata, “bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, atau kusta, atau balak, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak baginya menikahinya dengan sempurn. Dan demikian itu hak bagi suaminya hutang bagi walinya.”
(H.R. Malik dan Asy Syafi’i)
d.      Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC dan lain-lain.
Dijelaskan dalam suatu riwayat:
Artinya:
Dari syaid bin Musayyabah r.a berkata, “barang siapa diantara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki ini ada tanda-tanda gila, atgau ada tanda-tanda yang dapat membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih. Jika dikehendakinya boleh bercerai”
(H.R. Syaid bin Mansur)
e.       Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (besetubuh).       
Artinya:
Dari Ali r.a beliau berkata, “Barang siapa laki-laki yang mengawini perempuan lalu dukhul dengan perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak, gila, atau berpenyakit kusta, maka hak baginya maskawinnya dengan sebab menyentuh (mencampuri) perempuan itu, dan mas kawin itu hak bagi suami (supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh (di farjinya, hingga menghalangi jima’) suami itu boleh khiyar. Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya mas kawin sebab barang yang telah dilakukannya dengan farjinya.”
(H.R. Sa’id bin Mansur)
f.       Karena unah, yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima’), sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksud dengan nikah.
Artinya:
Dari Sa’id bin Musayyad r.a berkata, “Umar bin Khatab telah memutuskan bahwasannya laki-laki yang unah diberi janji satu tahun.”
(H.R. Sa’id bin Mansur)
Diberi janji satu tahun, ditujukan agar mengetahui dengan jelas bahwa suami itu nah atau tidak, atau mungkin bisa sembuh. Juga diqiaskan dengan aib yang enam macam berikut ini; aib-aib yang lain yang menghalangi maksud perkawinan baik dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah : 231 sebagai berikut:
  
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[*]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[*] Umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung.

Fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan pada hakikatnya fasakh ini lebih keras daripada khuluk, dan tidak ubahnya seperti melakukan khuluk juga. Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaannya adalah khuluk diucapkan oleh suami sendir, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.

Disamping itu fasakh juga bisa terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:
a.       Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
b.      Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan brlanja sedang istrinya itu tidak rela.
c.       Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya itu oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat ataupun karena mas kawinya belum dibayarkannya sebelum campur.

B.     Pelaksaan Fasakh
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebaginya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah:
1.      Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti: Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya, seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Artinya:
“Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara, tentang laki-laki yang telah jauh dari isteri-isteri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap merekaagar mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan isterinya. Maka bila mmreka telah menceraikannya, hendaklah mereka kirim semua nnafkah yang telah mereka tahan”.
(H.R. Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi)

2.      Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tigan hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya
Rosulullah SAW bersabda :
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah Saw. bersabda tentang yang tidak memperoleh apa yang telah dinafkahkannya kepada isterinya, bolehlah keduanya bercerai.”
(H.R. Darutqutni dan Al-Baihaqi)
Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam sebagai berikut:
1.      Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yeng mwlanggar hukum.
2.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, maka bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
 Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a.       Par keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.      Suami atau isteri
c.       Pejabat yang berwenang mengatasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
2.      Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah Putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya pernikahan.
 C.    Akibat Hukum Fasakh
 Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Sebab ada talak ba’in dan talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
 Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.
 Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
 Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebutmenikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap memiliki kesempatan tiga kali talak.
 Ahli fiqih golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami isteri sebab talak dan sebab fasakh. Mereka berkata “Pisahnya suami isteri karena suami, dan sama sekali tidak ada penngaruh isteri disebut talak.” Dan setiap perpisahan  suami isteri karena isteri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari isteri disebut fasakh.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Syafi’i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan Imam Malik mengatakan, “Harus menunggu selama satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan “Harus menunggu selama satu tahun.”
 Semua itu maksudnya adalah selama masa tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila isteri tidak rela lagi.
 Kalau si isteri mau menunggu, dan rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya
.Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: “Aku fasakhkan nikahmu dari sujamimu yang bernama ... bin ... pada hari ini”
 Kala fasakh itu dilakukan oleh isteri sendiri di muka hakim, maka ia berkata: “Aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama ... bin ... pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagidengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.
 BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas penulis dapat menginklusikan bahwa pengertian fasakh adalah membatalkan sebuah hubungan antara suami dan isteri yang bisa terjadi saat berlangsungnya pernikahan karena suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. maupun setelah melaksanakan pernikahan karena dari salah seorang suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebutmenikah dengan akad baru lagi, maka suamu tetap memiliki kesempatan tiga kali talak.
B.     Penutup
Mungkin hanya itu kesimpulan yang dapat penulis inklusikan yang sekaligus menutup makalah ini. Akhirnya penulis ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan / penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam penulisan makalah berikutnya supaya menjadi lebih baik dan menjadikan karya tulis yang berkualitas bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
C.    Saran-Saran
Jangan menjadikan kesimpulan dalam makalah ini sebagai penutup materi makalah ini, silahkan pembaca cari lebih detail lagi dari sumber lain mengenai materi fasakh agar dalam pencarian ilmu pengetahuan tidak ada kata “berhenti”. Carilah ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya tetapi jangan jadikan ilmu pengetahuan tersebut sebagai perusak akidah kita sebagai umat islam.
“Ingat” Jangan pernah berhenti mencari Ilmu Pengetahuan karena sebenarnya ilmu pengetahuan tidak pernah dibatasi. orang yang berhenti dalam pencarian ilmu pengetahuan adalah pengecut yang telah membunuh dirinya. Allah saja tidak pernah membatasi ilmu pengetahuan, kecuali manusia itu sendiri yang membatasinya.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Aminudin dan Drs. Slamet Abidin, “Fiqih Munakahat 2”. CV Pustaka SetiaBandnung. 1999.
Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah” Daarul Fikri, Bairut,1970

ILMU HADITS DAN PEMBUKUANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi,  akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran bagi umat muslim di dunia. Alquran merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah mendasar bagi islam yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan adab sopan santun. Sedangkan hadits merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Alquran. Oleh karena itu kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan oleh Rosulullah saw,. Menaati perintah Rosulullah adalah wajib, sebagaimana kita menaati apa yang disampaikan oleh Alquran.
Secara fungsional hadis dapat berfungsi Hadits sebagai penjelas bagi Alquran yang bagi karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Alquran tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula mengenakan hadits tanpa Alquran, akan kehilangan arah karena Alquran merupakan sumber hukum pertama yang di dalamnya berisi garis-garis besar syariat islam.
Di dalam Alquran surat At-Thur ayat 34 Allah berfirman
(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ  
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Alquran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Di dalam surat Al-Hasyr ayat 7 Allah swt juga berfirman sebagai berikut :
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”
Dari kedua ayat Alquran diatas Allah telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati (hadits) Rasulullah saw., disamping menaati Allah. Umat islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah. Bahkan hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah swt., Rasul-Nya yang terpercaya.
Banyak ulama yang mendefinisikan hadits, mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Dikalangan ulama ahli hadits mereka mendefinisikan bahwa hadits adalah :


“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, takrir maupun sifatnya”.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa hadits adalah :


“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik ucapan, perbuatan, takrir maupun sifatnya”
Secara global, hadits sejalan dengan Alquran menjelaskan mubah, merinci pada ayat-ayat yang menjual, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan serta menguraikan hukum-hukum dan tujuannya.disamping membawa hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Alquran yanng isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Di sinilah al-hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Alquran.
pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah. Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Pada abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan shahih. Pada abad IV H, yang merupakan akhir penulisan hadis, kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.
Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada akhir abad IV H.
Akan tetapi ternyata secara historis,  perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka  tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Pada jaman modern ini banyak diantara umat islam yang kurang mengetahui isi kandungan Alquran dan hadits, ilmu hadits serta sejarah pembukuannya bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahuinya sama sekali sehingga banyak dari mereka yang kehidupannya melenceng dari agama, hidup mereka tidak tersusun sesuai Alquran dan hadits.
Selain itu, pada abad modern ini ridak hadits hadits yang telah dipalsukan sehingga untuk mengetahui keshahihan hadits perlu dilakukan pembongkaran hadits tersebut dengan mengetahui ilmunya. Untuk lebih lanjut mengenai ilmu hadits dan pembukuannya, penulis akan sedikit memaparkannya di dalam makalah yang penulis buat ini. Selamat menyimak dan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembacanya.
B.     Rumusan Masalah
Untuk menghindari pelebaran pembahasan dan pendapat mengenai ilmu hadits dan pembukuannya maka penulis membatasinya yang melalui cakupan sebagai berikut :
  1. Pengertian Ilmu Hadits
  2. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
  3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
  4. Biografi Tokoh-Tokoh Muhadditsin
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sukabumi, dan juga sebagai sumber pengetahuan bagi penulis dan pembacanya sekalian.








BAB II
ILMU HADITS DAN PEMBUKUANNYA
A.    Pengertian Ilmu Hadits
Kata ilmu hadits merupakan kata serapan dari bahasa Arab “ilmu al-hadits” yang terdiri dari dua kata, yaitu “ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi saw,. Baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun lainnya, maka segala ilmu yang membicarakan masalah hadits pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadits. Secara terminologis, ulama mutaqaddimin merumuskan bahwa ilmu hadits ialah :



“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah saw. dari segi hal ikhwal perawinya yang menyangkut ke-dhabit­-an dan keadilannya dan dari bersambungdan terputusnya sanad, dan sebagainya”
Izz ad-Din bin Jama’ah mengatakan bahwa ilmu hadits ialah ilmu tentang ketenntuan atau akidah untuk mengetahui menjadi pokok pembahasan dan ilmu ini ialah sanad dan matan.
Definisi ilmu hadits seperti di atas dikemukakan oleh ulama mutaqaddimin, yang ada perkembangan berikutnya menjadi definisi untuk menjadi salah satu bagian  dari ilmu hadits. Hal ini seperti dikatakan oleh As-Suyuthi, para ulama mutaakhirin memekai definisi tersebut untuk definisi ilmudirayah al-hadits (ilmu hadits dirayah) sebagai bagian hadits (ilmu hadits riwayah). Pembagian ilmu hadits menurut para ulama mutaakhirin adalah sebagai berikut :
1.      Ilmu Hadits Riwayah
a.      Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita , maka ilmu riwayah, artinya ilmu hadits berupa periwayatan. Secara terminologi yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah :




            “ilmu yang khusus berhubungan dengan riwayat adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw. dan perbuatannya dan pengertian lafalnya.”
Definisi diatas mengacu pada rumusan hadits secara luas, sedangkan hadits yang mengacu kepada rumusan hadits yang terbatas atau sempit, maka definisinya ialah ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi saw. semata.
b.      Objek dan Kegunaannya
Yang menjadi objek ilmu hadits ini ialah membicarakanbagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan men-tadwin-kan hadits. Dalam menyampaikan dan membukakan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan, maupun sanad-nya. Ilmu ini tidak membicarakan hadits dari sudut kualitasnya, seperti tentang keadilan sanad, syads (kejanggalan) dan illat (kecacatan) matan.
Adapun kegunaan atau signifikasi mempelajari ilmu hadits adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah. Dari yang beredar pada umat islam bisa jadi bukan hanya hadits, melainkan juga ada berita-berita lain, yang sumbernya bukan dari Nabi atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
2.      Ilmu Hadits Dirayah
a.      Pengertian Ilmu Hadits Diryah
Istilah ilmu al-hadits atau disebut juga ilmu dirayah al-hadits menurut as-Suyuthi, muncul setelah mas al-Khathib al-Bagdadi, yaitu masa ibnu al-Akfani. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan ilmu ushul al-hadits, ulama al-hadits, musthahalah al-hadits, dan qawa’id at-tahdis. (As-Suyuthi,t.t: 5). Bahkan ada yang menyebutkan dengan ‘ilmu musthahalah ahli a’tsar, seperti dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Diantara semua istilah di atas, pada dasarnya tidak ada perbedaan makna sehingga tidak menimbulkan perbedaan dalam materi pembahasannya, namun yang lebih mencakup dari istilah tersebut ialah istilah ‘ulum al-hadits. Istilah ini meskipun membersihkan kesan masuknya ilmu Hadits Riwayah ke dalamnya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari tidak demikian.
Dalam bahasa Indonesia, istilah yang sudah baku ialah ”ilmu hadits”. Istilah ini, meskipun dengan memakai sebutan tuanggal, akan tetapi (dimaksudkan) di dalamnya mencakup semua materi yang terkait. Tentu saja ilmu hadits riwayah tidak termasuk ke dalamnya, karena pembahasan tentang hadits (sebsgai materi ilmu hadits riwayah) sudah mempunyai sebutan tersendiri secara terpisah, yang dipisahkan dari materi ilmu hadits.
Secara teminologi, yang dimaksud dengan ilmu hadits dirayah sebagaimana di definisikan oleh Muhammad Mahfuzh at-Tirmisi ialah :

Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui sanad dan matan.
Yang terkandung dalam pengertian di atas ialah segala ketentuan, baik berkaitan dengan kualitas keshahihannya (shahih, hasan dan dha’if-nya hadits), sandarannya (marfu, mauquf, dan maqthu-nya), serta menerima dan meriwayatkannya (kafiyat at-tahmul wa al-ada), maupun sifat-sifatnya maupun sifat-sifat dan mendefinisikannya dengan :



Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan dengannya.
Haqiqat ar-riwayah, artinya penukilan hadits dan penyandaran kepada sumber hadits atau sumber berita itu sendiri, yaitu Nabi saw.. Syarat-syarat periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan qira’ah (pembacaan), al-wasiyah (berwasiat), al-ijazah (pemberian izin dari rawi).
b.      Objek Signifikasinya
Objek ilmu dirayah ialah sanad rawi dan matan/marwi.5 dari sudut diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud-nya) suatu hadits. Dari aspek sanad-nya diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana merekan menerima dan menyampaikan kecacatan haditsnya, serta ittishal as-sanad atau bersambung atau tidaknya sanad-sanad tersebut.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal as-sanad), yaitu bahwa rangkaian suatu sanad hadits haruslah bersambung, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadits tersebut. Oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi atau tidak diketahui identitasnya atau tersamar. (ii) segi keterpercayaan sanad (tsiqat as-Sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadits harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadisnya). (iii) segi kemaslahatannya dari kejanggalan (syadz). (iv) keselamatan dari (illat). Dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahihan-nya atau ke-dhabitan-nya. Hal tersebut dapat dilihat melalui kejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Alquran atau selamatnya dari; (i) kejanggalan redaksi (rekakat al-faz), (ii) dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al-makna), karena kerentangan dengan akal dan pancaindera, atau dengan kandungan makna Alquran, atau dengan fakta sejarah, dan (iii) dari kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi ilmu hadits dirayah adalah untuk mengatahui dan menetapkan hadits-hadits yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan)dan yang mardud (yang ditolak).
Ddengan mempelajari ilmu hadits dirayah ini, banyak kegunaan yang diperoleh, antara lain, pertama, dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah saw. sampai dengan masa sekarang; kedua, dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumplkan, memeliharan dan meriwayatkan hadits; ketiga, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut; keempat, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut; kelima, dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai,dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam menetapkan sebagai hukum syara’.
B.     Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu hadits riwayah dan dirayah ini, kemudian muncul cabang-cabang ilmu hadits lainnya, seperti ilmu rijal al-hadits, ilmu al-jarh waat-ta’dil, ilmu as-bab wurud al-hadits, dan ilmu mukhtalif al-hadits.
1.      Ilmu Rijal al-Hadits
Secara bahasa kata rijal al-hadits, arrinya orang-orang disekitar hadits, maka ilmu rijal al-hadits, artinya ialah ilmu tentang orag-orang disekitar hadits. Secara terminologis, ilmu rijal al-hadits  ialah :

Ilmu untuk mengetahui para perawihadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadits.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebaaimana diketahui, bahwa objek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal al-hadits dalam hal ini mengambil porsi khusus mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini adalah al-Bukhari, ‘izzad bin Ibnu Al-Atsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Atsir (630 H), ulama abad ketujuh hijriyah, yang berhasil menyusun kitab Usud al-Gabah fi Asma as-Shahabah. Kitab thabaqah pertama, meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.
2.      Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadits. Secara bahasa, kata al-Jarh, artinya cacat atau luka dan kata Ta’dil, artinya mengendalikan atau menyamakan. Maka  kata ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil  artinya adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologis, ada ulama yang mendefinisikannya secara terpisah antara istilah al-Jarh dan at-Ta’dil dan ada yang secara bersama-sama.
Para ahli hadits mendefinisikan al-Jahr adalah :


Jarh menurut muhaditsin adalah menunjukan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya.
Sedngkan at-Ta’dil secara bahasa berarti at- taswiyah (menyamakan), menurut istilah berarti :


Ta’dil adalah kebaikan dari Jarh, yaitu menilai bersih terhadap seseorang rawi dan menghukumnya bahwa ia adil atau dhabit.
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi yaitu :


Ilmu yang membahas tentang para rawi hadits dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan mereka, dengan lafal tertentu.
3.      Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Kata ilal “dari” ila yaitu, adalah bentuk jamak dari kata ‘al-illah”, yang menurut bahasa artinya al-marad (penyakit atau sakit). Menurut ulama ahli hadits, al-illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang dapat mencemarkan hadits sehingga pada hadits tersebut tidak terlihat adanya kecacatan.
Adapun yang dimaksud denngan ilmu Ilal al-hadits, menurut mereka adalah adalah :


Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadits, misalnya mengatakan mustahil terhadap hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap yang mauquf, memasukan hadits ke dalam hadits lain, dan lain-lain yanng seperti itu.
Menurut al-Hakin An-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum Al-Hadits, menyebutkan bahwa ilmu ilal al-hadits merupakan ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu shahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan iilal al-hadits tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadits yang majuh adalah hadits yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadits yang banyak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang menceritakan suatu hadits yang mengandung illat tersembunyi. Karena illat tersebut, maka haditsnya disebut hadits ma’lul. Selanjutnya al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat hadits adalah hafalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam dan pengetahun yang cukup.
4.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Kata Asbab Wurud al-Hadits atau disebut juga asbab ashudur al-Hadits, secara bahasa artinya ialah sebab-sebab adanya haadits itu.
Bila dipisahkan kata asbab adalah :

Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang mendefinisikan dengnan suatu jalan terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul dan mengalir, seperti kata :


Air yang memancar atau air yang mengalir.
Menurut H.A. Djalil Afif, ilmu asbabul wurud al-hadits ialah :

Ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab latar belakang di-wurud-kannya hadits dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Banyak diantara hadits Rasul yang di-wurud-kan karena adanya sesuatu sebab tertentu, seperti sebuah hadits tentang kedudukan air laut sebagai alat bersuci, yang artinya, “laut itu suci airnya dan halal bangjainya” (HR. Al-Khamsah). Hadits ini di-wurud-kan, karena kesulitan seorang sahabat untuk mendapatkan air wudu’ di tengah lautan. Persediaan, msks tidak ada cadangan untuk keperluan minum, begitu pula persoalan sebaliknya.
Ilmu ini diperlukan, sebab salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya ilmu asbabun nuzul Alquran terhadap Alquran. Diantara kitab yang menjelaskan masalah ini, ialah asbab Wurud al-Hadits karya as-Suyuti, dan al-Bayan wa at-Ta’riffi Asbab Wurud al-Hadits Asy-Syarif, karya Ibrahim bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan ibnu Hamzah (1120 H).
5.      Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Ilmu Mukhtalif al-Hadits ialah :




Bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilankan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentanngan itu, antara lain adalah men-taqyid yang mutlaq dan men-takhsis yang am. Sebagian ulama menyebut ilmu ini dengan ilmu musykil hadits, ilmu ta’wil al-hadits, dan ilmu talfiq al-hadits. Para ulama yang menyusun kitab dalam masalah ini diantaranya ialah Asy-Syari’i Ibnu Yahya as-Saji dan Ibnu al-Jauzi.
Selain ilmu-ilmu cabang di atas, perlu juga disebutkan cabang lainnya seperti ilmu at-tashif, ilmu gharib al-hadits, dan ilmu an-nasikh wa al-masukh.
Yang dimaksud dengan ilmu at-Tashif wa at-Tahrif ialah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits-hadits yang sudah diubah syakal atau bentuknya. Ibnu Hajar al-Asqalabi membagi ilmu ini menjadi dua, yaitu ilmu al-tashif dan ilmu at-tahrif, sedang Ibnu Shalah menggabungkan kedua ilmu ini.
Diantara ulama yang menyusun dalam masalah ini ialah Abu Ahmad Al-Hasan bin Abdullah bin Said, yang dimaksud dengan ilmu garib al-hadits ialah ilmu pengetahuan yang menjelaskan lafal-lafal hadits yang jarang digunakan. Yang karenanya, maknanya sulit atau kurang dipahami umat. Ulama yang menyusun kitab dalam masalah ini, diantaranya ialah Abu Ubaida Ma’maar bin Matsna at Tirmimi al-Bisri dan Abu Hasan bin Syamil al Mazini, dan dalam judul masalah ini ialah Nihayah Garib al-Hadits karya Ibnu al-Atsir.
Yang dimaksud dengan ilmu an-nasikh wa al-masukh ialah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits-hadits yang menghapus ketetapan hukum yang dibawa oleh hadits-hadits yang datang terdahulu. Diantara para ulama yang menyusun dalam masalah ini  ialah Ibnu al-Jauzi, dengan karyanya Tajrid al-Hadits al-Mansukh dan Muhammad Musa al-hazimi, dengan karyanya al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansur min al-Atsar.



C.    Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadits
1.      Masa Pembentukan Al Hadist
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :
  1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
  2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
2.      Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
3.      Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99-101 H/ 717-720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51-124 H / 671-742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
  • di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
  • di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
  • di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
  • di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
  • di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
  • di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
  • di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
  • di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
  • di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
  • di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
  • di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
  • - Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.
4.      Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Al Hadits marfu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu' ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
  • Ahmad bin Hambal
  • 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
  • Musaddad Al Bashri
  • Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
  • 'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M) Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
  • Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi Al Hadits yang shahih saja
  • Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla'if yang tidak munkar.
  • Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.























BAB III
BIOGRAFI  BEBERAPA  ULAMA  HADITS  DARI  KALANGAN SAHABAT  &  PELOPOR  PENGKODIFIKASI  HADITS

Di kalangan para sahabat, terkenal sejumlah nama yang menghafal dan meriwayatkan hadits dalam jumlah yang banyak, yang mereka itu di dalam istilah ilmu hadits digelari dengan  al-muktsirun fi al-hadits.
A.       Sahabat Yang Bergelar Al-Muktsirun Fi Al-Hadits
Dari sekian banyak sahabat yang mempunyai perhatian yang besar terhadap hadits Nabi s.a.w., sehingga mereka menghafal dan bahkan ada yang menuliskannya, terdapat 7 orang sahabat yang dinyatakan paling banyak menerima dan meriwayatkan hadits, sehingga mereka digelari dengan al-muktsirun fi al-hadits. Mereka itu adalah :
·            Abu Hurairah
·            ‘Abd  Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab
·            Anas ibn Malik
·            ‘A’isyah Umm al-Mu’minin
·            ‘Abd Allah ibn ‘Abbas
·            Jabir ibn ‘Abd Allah
·            Abu Sa’id al-Khuduri
1.         Abu Hurairah (19 SH-59 SH)
Nama lengkap beliau adalah ‘Abd al-Rahman ibn Shakhr al-Dausi al-Yaman. Pada masa sebelum Islam namanya adalah ‘Abd Syams, dan setelah Islam, Rasulullah s.a.w. menamainya dengan kuniyah-nya, yaitu Abu Hurairah.
Gelar “Abu Hurairah” tersebut berawal dari pengalamannya sebagaimana yang dikisahkannya langsung, yaitu bahwa suatu hari beliau menemukan seekor kucing, lantas anak kucing tersebut dibawanya dengan cara memasukannya ke dalam lengan bajunya. Oleh karena itu, beliau digelari dengan Abu Hurairah, yang artinya “ayah kucing”.
Abu Hurairah telah memeluk agama Islam semenjak beliau berada di Yaman, yaitu di hadapan Al-Thufail ibn ‘Amr. Dia berhijrah ke Madinah dan bergabung bersama Rasulullah s.a.w. pada saat penaklukan Khaibar tahun 7 H.
Abu Hurairah senantiasa bersama Rasulullah s.a.w. selama 4 tahun, yaitu semenjak kedatangannya di Khaibar hingga wafatnya Rasulullah s.a.w.. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa beliau bergaul bersama Rasulullah s.a.w. hanya 3 tahun, karena selama setahun, beliau di kirim ke Bahrain bersama ‘Ala ‘al-Hadrami. Jadi, dengan dikurangi setahun selama dia berada di Bahrain, maka masa beliau bersama Rasulullah s.a.w. adalah selama 3 tahun.
Meskipun Abu Hurairah hidup berdampingan dengan Rasulullah s.a.w. hanya selama 3 tahun saja, tapi masa yang singkat tersebut ternyata telah dapat dipergunakannya untuk menyerap dan menimba berbagai ilmu pengetahuan dari Rasulullah s.a.w., sehingga beliau dapat meriwayatkan hadits lebih banyak dari sahabat lainnya.  Menurut Ibn al-Jauzi, ada sejumlah 5374 hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang terdapat di dalam Musnad Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Syaikr, jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah setelah dikeluarkan hadits-hadits yang berulang kali disebutkan adalah sejumlah 1579hadits. Dari 5374 hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, 325 hadits terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim; 93 hadits diriwayatkan oleh Bukharisaja; dan 189 hadits diriwayatkan oleh Muslim saja.
Hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ada yang berasal langsung dari Nabi s.a.w. dan ada pula yang berasal dari Abu Bakar, ‘Umar bin Khathab, ‘Utsman bin ‘Affan, Ubai ibn Ka’ab, Usman ibn Zaid, ‘A’isyah, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Abu Hurairah wafat pada tahun 59 H.

2.         ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khathab  (10 seb. H -73 H)
Nama lengkapnya adalah ‘Abd  Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab ibn Nufail al-Quraisyi al-‘Adawi Abu ‘Abd al-Rahman al-Maliki. Beliau memeluk agama Islam semenjak usianya masih kecil dan berdasarkan sumber dari Al-Zubair, beliau hijrah ke Madinah ketika berumur 10 tahun. Karena usianya masih muda, Rasulullah s.a.w. menolak permohonannya untuk ikut serta dalam perang Badar dan Uhud. Namun kemudian, ketika peperangan Khandaq terjadi, Rasulullah s.a.w. mengizinkan ibn “Umr untuk ikut serta, karena ketika itu usianya telah mencapai 15 tahun.
Ibn ‘Umar banyak meriwayatkan hadits dan ia adalah seorang sahabat yang sangat ketat dan teliti dalam menerima hadits. Ibn ‘Umar memperoleh hadits, selain langsung dari Rasulullah s.a.w., juga dari para sahabat, seperti Abu Bakar, ‘Umar bin Khathab, ‘Utsman bin ‘Affan, Abu Dzar, Mu’ads ibn Jabal, ‘A’isyah, pamannya (Zaid), saudara perempuannya (Hafsah), dan lain-lain.
Jumlah hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Umar sebanyak 2360 buah, di antaranya sejumlah 168 hadits disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 81 hadits diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 31 hadits oleh Muslim saja. Selain itu, hadits-haditsnya di dapati didalam al-Kutub al-Sittah, beberapa kitab musnad, dan sunan. ‘Abd  Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab meninggal dunia di Makkah pada tahun 73 H dalam usia 84 tahun.
3.         Anas ibn Malik  (10 seb. H-93 H)
Nama lengkapnya adalah Anas ibn Malik ibn al-Nadhr ibn Dhamdham al-Ansahari al-Khazraji al-Najjari. Ketika Rasulullah s.a.w. hijrah ke Madinah, Anas baru berusia 10 tahun. Ibunya, Ummu Sulaim, menyerahkan Anas kepada Rasulullah s.a.w. agar dapat berkhidmat kepada Rasul.
Anas kemudian tumbuh dan besar bersma Rasulullah s.a.w., dan ia berkhidmat kepada Rasulullah s.a.w. selama 10 tahun. Anas adalah seorang sahabat yang terkenal wara’, banyak ibadahnya, dan sedikit bicaranya. Sumber hadits Anas, selain berasal langsung dari Rasulullah s.a.w., juga diperolehnya melalui Abu Bakar, ‘Umar bin Khathab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abd Allah ibn Mas’ud, ‘Abd Allah ibn Rawahah, Fatimah al-Zahra, ‘Abd Rahman ibn ‘Auf, dan lain-lain.
Anas adalah perawi hadits terbanyak ke-3 di kalangan sahabat. Jumlah hadits yang diriwayatkannya adalah 2286 hadits, di antaranya 318 hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 80 hadits diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 70 hadits diriwayatkan oleh Muslim saja. Riwayat yang paling sahih dari Anas adalah melalui jalur Malik, dari al-Zuhri, dan dari Anas, sedangkan yang paling lemah adalah melalui jalur Daud ibn al-Muhabbar dari Aban ibn Abi ‘Iyasy, dari Anas.
4.         ‘A’isyah Ummu al-Mu’minin  (9 seb. H-58 H)
Beliau adalah ‘A’isyah binti Abu Bakar al-Shiddiq, salah seorang istri Rasulullah s.a.w.. Rasulullah menikahinya pada bulan Syawal tahun 2 H, yaitu setelah perang Badar. Beliau-lah satu-satunya istri Rasulullah s.a.w. yang dinikahinya dalam keadaan gadis. ‘A’isyah hidup bersama Rasulullah s.a.w. selama 8 tahun 5 bulan.
‘A’isyah adalah seorang yang cerdas serta menguasai Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi s.a.w., terutama yang berkenaan dengan permasalahan wanita, dan bahkan dia juga seorang yang ahli dalam bidang fiqih, sehingga dianggap sebagai salah seorang Fuqaha sahabat. Selain langsung dari Rasulullah s.a.w., ‘A’isyah juga menerima hadits melalui ayahnya, Abu Bakar, ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Usaid ibn Khudhair, dan lain-lain. Jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘A’isyah adalah 2210 hadits, sejumlah 316 hadits terdapat pada sahih Bukhari dan Muslim, 54 hadits diriwayatkan oleh Bukhari saja, 68 hadits diriwayatkan oleh Muslim saja, serta hadits-hadits lainnya dijumpai pada Al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab sunan lainnya.
‘A’isyah r.a. meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 58 H, dan ada yang berpendapat pada tahun 57 H.
5.         ‘Abdullah ibn ‘Abbas  (3 seb. H-68 H)
Beliau adalah Abu al-‘Abbas ‘Abd Allah ibn ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman Rasulullah s.a.w.. Ibunya adalah Umm al-Fadhal Lubabah bin al-Harits al-Hilaiyah, saudara perempuan dari maimunah bin al-Harits al-Hilaiyah, istri Rasulullah s.a.w.
Ibn ‘Abbas lahir pada tahun 3 sebelum Hijrah di Syi’ib, Mekah, yaitu ketika Bani Hasyim sedang diasingkan oleh suku Quraisy musyrik di sana. Ketika Rasulullah s.a.w. wafat, Ibn ‘Abbas berusia 13 tahun. Rasulullah s.a.w. semasa hidup beliau telah mendo’akan Ibn ‘Abbas agar diberi hikmah oleh Allah s.w.t., pemahaman terhadap agama, dan kemampuan dalam men-takwil. Do’a Rasulullah s.a.w. tersebut dikabulkan Allah s.w.t., sehingga Ibn ‘Abbas menjadi seorang mufassir dan seorang muhaddits yang memiliki koleksi hadits banyak.
Dari 1660 hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas, sejumlah 234 hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 110 hadits diriwayatkan oleh Bukhari saja, 49 hadits oleh Muslim saja, dan selebihnya dijumpai di dalam Al-Kutub al-Sittah dan kitab-kitab Sunan.
Dalam masa hidupnya, selain menekuni ilmu pengetahuan dan mengajarkannya, Ibn ‘Abbas juga pernah dipercayakan Khalifah ‘Ali r.a. menjadi gubernur di Basrah, tetapi beliau meninggalkan tugas tersebut sebelum ‘Ali terbunuh dan selanjutnya dia kembali ke Mekah. Ibn ‘Abbas meninggal dunia di Tha’if  pada tahun 68 H.
6.         Jabir ibn ‘Abdullah  (16 seb. H-78 H)
Nama beliau adalah Jabir ibn ‘Abd Allah ibn ‘Amr Haram ibn Tsa’labah al-Khazraji al-Salami al-Anshari ‘Abd Allah atau Abu ‘Abd al-Rahman, atau ada yang mengatakan Abu Muhammad. Jabir adalah seorang faqih dan mufti pada masanya.
Meskipun hidup dalam kesempitan, hal tersebut tidak menghalangi Jabir untuk menuntut dan mencari ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, selain dari Rasulllah s.a.w., Jabir memperoleh hadits dari para sahabat, seperti Abu Bakar, ‘Umar, Ali, Abu ‘Ubaidah, Thalahah, Mu’adz ibn Jabal, ‘Ammar ibn Yasir, Khalid ibn al-Walid, Abu Hurairah, Abu Sa’id, ‘Abd al-Rahman, ‘Uqail ibn Muhammad, oleh Sa’id ibn al-Musyayab, Mahmud ibn Lubaid, ‘Amr ibn Dinar, Abu Ja’far al-Baqir, dan lain-lain.
Dari 1540 hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, sejumlah 212 hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 26 hadits oleh Bukhari saja, dan 126 hadits oleh Muslim saja. Sanad yang paling sahih dari hadits Jabir adalah melalui jalur ahli Mekah, dari jalan Sufyan ibn ‘Uyainah, dari ‘Amr Ibn Dinar, dari Jabir ibn ‘Abd Allah. Jabir meninggal dunia pada tahun 78 H pada usia 94 tahun, dan beliau adalah sahabat yang terakhir meninggal dunia di Madinah.
7.         Abu Sa’id al-Khuduri  (12 seb. H-74 H)
Beliau adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan ibn ‘Ubaid ibn Tsa’labah ibn ‘Ubaid ibn al-Abjar, yaitu Khudrah ibn ‘Auf ibn al-Harits ibn al-Khazraj al-Anshari. Pada usia 13 tahun, beliau dibawa serta oleh ayahnya menghadap Rasulullah s.a.w. agar diizinkan untuk turut dalam peperangan Uhud, tetapi Rasulullah s.a.w. menganggapnya masuh terlalu muda untuk berperang ketika itu, dan selanjutnya beliau menyarankan untuk dibawa pulang kembali. Selama hidupnya, beliau mengikuti sejumlah 12 kali peperangan.
Selain langsung dari Rasulullah s.a.w., Abu Sa’id al-Khuduri mendapatkan hadits melalui ayahnya, yaitu Malik ibn Sinan, dari saudara seibunya, yakni Qatadah ibn Nu’man, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Qatadah al-Anshari, ‘Abd Allah ibn Salam, ibn ‘Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’awiyyah, Jabir ibn ‘Abd Allah, dan lain-lain.
Dari 1170 hadits yang merupakan koleksi Abu Sa’id al-Khuduri, sejumlah 111 hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 43 hadits disepakati oleh keduanya, 16 hadits diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 52 hadits diriwayatkan oleh Muslim saja. Hadits-hadits yang lain dijumpai di dalam Al-Kutub al-Sittah.  Abu Sa’id al-Khuduri meninggal dunia pada tahun 74 H di Madinah, dalam usia 86 tahun.
B.        Pelopor Pengkodifikasian Hadits Dan Ilmu Hadits
Di antara para ulama hadits yang telah berjasa dalam pengkodifikasian (pengumpulan dan pembukuan) hadits dan ilmu hadits, sejak pertama dikumpulkan secara resmi sampai pada penyeleksiannya antara yang sahih dengan yang bukan sahih, yaitu :
1.         ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (61-101 H)
Beliau adalah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abi al-‘Ash ibn Umayyah ibn ‘Abd Syams al-Qurasyi al-Umawi Abu Hafsh al-Madani al-Dimasyqi, Amir Al-Mu’minin. Ibunya adalah Umm ‘Ashim binti ‘Ashim ibn ‘Umar ibn al-Khathab. Dengan demikian, beliau adalah cucu ‘Umar ibn al-Khathab dari garis keturunan ibunya. Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz adalah seorang khalifah yang mempunyai perhatian cukup besar terhadap hadits Nabi s.a.w., beliau secara langsung menuliskan hadits-hadits yang didengar dan diminatinya.
Dorogan untuk menuliskan dan memelihara hadits selain karena dikhawatirkan akan lenyapnya hadits bersama meninggalnya para penghafalnya, juga dikarenakan berkembangnya kegiatan pemalsuan hadits yang disebabkan oleh terjadinya pertentangan politik dan perbedaan mazhab di kalangan Umat Islam.
Khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz menginstruksikan kepada para ulama dan penduduk Madinah untuk memperhatikan dan memelihara hadits. Meskipun masa pemerintahan Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz relatif singkat, beliau telah mempergunakannya secara maksimal dan efektif untuk pemeliharaan hadits-hadits Nabi s.a.w., yaitu dengan mengeluarkan perintah secara resmi untuk pengumpulan dan pembukuan hadits.

2.  Muhammad  ibn Syihab al-Zuhri  (50-124 H)
Beliau adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaid Allah ibn Syihab ibn ‘Abd Allah ibn al-Harits ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi al-Zuhri al-Madani. Al-Zuhri lahir pada tahun 50 H, dan ada yang menyebutkan tahun 51 H, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Al-Zuhri hidup padaakhir masa sahabat, dan beliau masih bertemu dengan sejumlah sahabat ketika beliau berusia 20 tahun lebih. Oleh karenanya, beliau mendengar hadits dari para sahabat, seperti Anas ibn Malik, “Abd Allah ibn ‘umar, Jabir ibn ‘Abd Allah, Sahal ibn Sa’ad, Abu al-Thufail, Al-Mansur ibn Makhramah, dan lainnya.
Al-Zuhri terkenal sebagai seorang ulama yang cepat serta setia dan teguh hafalannya. Al-Zuhri telah meninggalkan jasa-jasa yang besar dalam bidang hadits, di antaranya adalah :
a)          Al-Zuhri adalah orang pertama yang memenuhi himbauan Khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz untuk membukukan hadits, sehingga beliau telah berhasil menghimpunnya dalam beberapa kitab.
b)          Al-Zuhri telah berhasil mengumpulkan dan meriwayatkan sejumlah tertentu dari hadits Nabi s.a.w. yang tidak diriwayatkan oleh para perawi lain, sehinng jerih payahnya tersebut telah menyelamatkan hadits-hadits Nabi dari kepunahan.
Menurut ‘Ali ibn al-Madini, Al-Zuhri memiliki sekitar 2000 hadits. Al-Zuhri meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 124 H, dan ada yang menyebutkan tahun 123, dalam usia 72 tahun.
3.  Muhammad ibn Hazm  (w. 117 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm al-Anshari al-Khazraji al-Najjari al-Madani al-Qadhi. Muhammad ibn Hazm adalah seorang ulama besar dalam bidang hadits dan beliau juga terkenal ahli dalam bidang fiqih pada masanya. Sebagai seorang ulama besar, dia merupakan guru dari beberapa imam besar yang terkenal dalam sejarah hadits dan fiqih. Di antara para muridnya adalah Al-Auza’I, Malik, Al-Laits, dan Ibn Ishaq.
4.   Al-Ramahurmuzi  (w. 360 H)
Namanya adalah Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ramahurmuzi. al-Ramahurmuzi adalah seorang ulama besar dan terkemuka dalam bidang hadits pada zamannya, dan beberapa karyanya muncul seiring dengan kebesarannya dalam bidang hadits tersebut.
Al-Ramahurmuzi adalah seorang imam hafiz, seorang muhaddits non Arab, dia menulis, menyusun, dan melahirkan berbagai karya ilmiah mengikuti jejak para akhbari, sejarawan, dan juga ahli syi’ir. Dari segi kualitas pribadinya, dia adalah seorang yang hafizh, tsiqat, ma’mun, dan melalui kesan-kesan, pengalaman, dan peninggalan karya ilmiahnya, dpat disimpulkan bahwa dia adalah seorang yang terpelihara muru’ah-nya, mulia akhlaknya, dan bagus kepribadiannya.
Dalam bidang musthalah al-hadits, yang pertama menulis kitabnya adalah Al-Ramahurmuzi dengan judul Al-Muhaddits al-Fashil Bayn al-Rawi wa al-Wa’i. kitab ini dipandang sebagai kitab pertama dalam bidang ilmu ushul al-hadits (musthalah al-hadits). Beliau meninggal dunia pada tahun 360 H di Ramahurmuz.
5.      Al-Bukhari  (194-256 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ju’fi (al-Ja’fai) al-Bukhari. Beliau lahir pada hari Jum’at, 13 Syawal 194 H, di Bukhara. Ayahnya, Ismail adalah seorang ulama hadits yang pernah belajar hadits dari sejumlah ulama terkenal, seperti Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid, dan ibn Al-Mubarak. Namun, ayahnya tersebut meninggal dunia ketika beliau masih dalam usia sangat muda.
Al-Bukhari mulai mempelajari hadits sejak usianya masih muda sekali, bahkan sebelum mencapai 10 tahun. Meskipun usianya masih sangat muda, beliau memilki kecerdasan dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Dalam rangka memperoleh informasi yang lengkap mengenai hadits, baik matan maupun sanad-nya, Bukhari banyak melakukan perlawatan ke berbagai daerah, seperti ke Syam, Mesir, dan Al-Jazair, masing-masing 2 kali, ke Basrah 4 kali, menetap di Hijaz selama 6 tahun, dan berulang kali ke Kufah dan Baghdad.
Bukhari adalah imam hadits pada masanya, dan bahkan beliau adalah orang yang pertama menghimpun hadits-hadits sahih saja di dalam karyanya yang terkenal, yaitu Sahih al-Bukhari. Beliau menerima hadits dari ‘Ubaid Allah ibn M’sa, Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Anshari, Affan, Abi ‘Aahim al-Nabil, Maki ibn Ibrahim, dan lain-lain. Hadits al-Bukhari diriwayatkan oleh sejumlah ulama, di antaranya Al-Tirmidzi. Al-Nasai, Abu Hatim, ibn Khuzaimah, dan lain-lain.
Bukhari sangat selektif dalam memilih hadits, terutama ketika akan memasukannya ke dalam kita Jami’-nya tersebut. Beliau hanya memasukkan hadits-hadits sahih saja ke dalam kitabnya itu, bahkan dalam rangka kehati-hatiannya, beliau terlebih dahulu mandi dan menunaikan shalat 2 rakaat sebelum menuliskan suatu hadits ke dalam kitabnya tersebut.
Meskipun hadits-hadits yang berhasil dikumpulkan oleh al-Bukhari sangat banyak, 600.000 hadits, yang didapatnya melalui pertemuannya dengan sekitar 1.080 orang guru, hanya sebagian kecil yang dimuatnya ke dalam kitab sahihnya. Menurut penelitian Azami, ada jumlah 9.082 hadits yang dimuat Bukhari ke dalam kitab sahih-nya.
Imam Bukhari meninggal dunia pada hari Sabtu, malam ‘Id tahun 256 H dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
6.         Muslim  (204-261 H)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairri al-Nisaburi. Beliau lahir pada tahun 204 H, tetapi ada yang mengatakan tahun 206 H. Beliau mulai mempelajari hadits sejak tahun 218 H, yaitu pada usia sekitar 15 tahun. Diawali dengan mempelajari hadits dari guru-guru yang ada di negrinya, selanjutnya beliau melakukan perlawatan keluar daerahnya. Dalam perjalanan ini, beliau belajar dengan Qa’nabi dan ulama lainnya.
Di antara para guru yang ditemui oleh beliau dalam lawatan ilmiahnya tersebut adalah Imam Bukhari, Imam Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Zuhair ibn Harb, Sa’ib ibn Manshur, Ibn Ma’in, dan lainnya yang jumlahnya mencapai ratusan orang.
Dari sekianbanyak karyanya, maka yang paling terkenal dan terpenting di antaranya adalah karyanya Al-Shahih. Judul lengkap dari Al-Shahih ini adalah Al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-Adl’an Rasul Allah.
Menurut Al-Nawawi, jumlah hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tanpa menghitung yang berulang, adalah sekitar 400 hadits. Hadits-hadits tersebut adalah merupakan hasil penyaringan dari 300.000 hadits yang berhasil dikumpulkan oleh Imam Muslim. Beliau melakukan penyelesaian dan penyaringan hadits-hadits tersebut selama 15 tahun. Imam Muslim juga terkenal sebagi seorang yang sangat ketat dalam menilai dan menyeleksi hadits-hadits yang diterimanya. Imam Muslim dengan kitab Shahih-nya tersebut dinyatakan oleh para ulama hadits sebagai orang kedua, setelah Al-Bukhari, yang menghimpun hadits-hadits Shahih saja di dalam kitabnya.









BAB IV
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan  merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan  konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,  bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
2.      Saran
Tentunya penulis dalam hal ini menyarankan kepada pembaca supaya mempelajari dan menelaah makalah ini sebagai referensi dan bahan kajian dalam belajar. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan yang masih harus diperbaiki lagi. Penulis menyarankan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan dan saran untuk terbentuknya makalah selanjutnya yang lebih baik .


















DAFTAR PUSTAKA

Sahroni, Sohari, Ulumul Hadits, Ghalia Indonesia, 2010
Hakim bin Amir Abdat, Abdul, Kitab al-Masail jilid 3 : ilmu-ilmu Hadits, Google, 2010