Rabu, 10 November 2010

FILSAFAT MODERN

1.      SEJARAH FILSAFAT MODERN

Pada abad pertengahan, hegemoni akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu iman menang dan akal kalah total. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal tadinya manusia itu sudah membuktikan bahwa ia sanggup membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah dipenuhi dengan lembaran hitam berupa pemusnahan bagi orang-orang yang berpikir kreatif, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pemikiran tokoh gereja.
Banyak orang yang jengkel melihat dominasi gereja. Mereka ingin segera mengakhiri dominasi gereja itu. Akan tetapi, mereka khawatir akan mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya yang telah dikirim ke akhirat. Sekalipun demikian, ada juga pemberani yang sanggup melawan arus deras itu. Orang itu adalah Rene Descartes
Argumen-argumen yang diajukan oleh Descartes jelas bertujuan untuk melepaskan filsafat dari kekangan gereja. Itu terlihat dari argument cagito yang terkenal itu. Setelah Descartes berhasil, dan ternyata ia tidak diapa-apakan, maka llaksana bendungan jebol, bermunculan banyak filosoft. Akal yang dikekang selama kira-kira 1500 tahun itu sekarang berpesta pora merayakan kebebasannya. Akal menang lagi, akan tetapisialnya sofisme Yunani terulang lagi. Ini dinamakan sofisme modern karena cirri pokok sufisme lama ada pada sofisme modern ini. Ciri ialah: kebenaran itu relative.
Sofisme pertama ialah suasana pemikiran yang dihadapi oleh  Socrates. Tokoh-tokoh utamanya adalah Parmanides dan Gorgias. Sofisme kedua atau sofisme modern ialah suasana pemikiran yang dihadapi oleh Kant. Pada alur ini dapat dilihat bahwa alur missi Socrates pada esensinya sama dengan misi Kant.
Para filsuf Zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.  Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat.  Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).  Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi.  Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).  Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”.  Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”.  Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.  Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada.  Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.  — Mengapa kebenaran itu pasti?  Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”.  Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar.  Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).  Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.  Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”.
Kausalitas.  Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang).  Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.  Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Dengan Kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.  Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”.  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Sampai disini saja sudah jelas kelihatan adanya kekacauan pemikiran jaman modern itu. Itu semuanya gara-gara akal yang lepas kendali. Mungkin karena mereka terlalu begitu gembira dengan kebebasan yang diperolehnya.
Sebenarnya telah ada rintisan untuk menguji akal misalnya pada karya locke, Barkeley, dan Hume.
Jhon Locke (1632-1704) telah menerapkan tes induktif dalam psikologi. Di dalam bukunya, Essay on Human Understanding (1689), akal, untuk pertama kalinya di jaman modern, dibicarakan sendiri, dan filsafat dapat digunakan sebagai alat ampuh, telah begitu lama dipercayai. Pandangan introsfeksi ini di dalam filsafat mulai tumbuh selangkah demi selangka sebagaimana dikembangkan oleh Richardson dan Rousseau dalam karangan mereka yang berbentuk novel, dalam warna yang sentimental dan emosional dalam novel mereka, Clarissa Harlowe dan La Nouvelle Heloise, yang merupakan saingan filsafat yang membawakan rona instingtif dan perasaan dibawah rasio.
Bagaimana sebenarnya pengetahuan itu muncul? Apakah kita ini memiliki innate idea sebagaimana dikatakan oleh sebagian tokoh? Sesuatu yang dibawa sejak lahir, yang telah ada sebelum terjadi pengalaman misalnya tentang yang baik dan yang buruk, tentang Tuhan? Sementara theolog yang khawatir atas kekurangpercayaannya terhadap Tuhan bila Tuhan diperoleh lewat pengalaman, sebab Tuhan tidak dapat dilihat dari teleskop, telah mengemukakan pikiran mereka bahwa kepercayaan dan moral dapat diperkuat jika dasar dan pusat idea-idea memeang bawaan sejak lahir pada setiap pribadi yang normal. Akan tetapi Locke, seorang penganut Kristen yang baik, tampil dengnan argumennya tentang “kerasionalan agama Kristen”. Ia tidak dapat menerima adanya idea bawaan itu. Ia malahan menyatakan bahwa pengetahuan kita datang dan pengalaman indrawi. Pikiran itu (the mind), tatkala manusia lahir keadaannya bersih seperti kertas putih, suatu tabula rasa. Pengalaman indrawi lah yang menulis diatasnya lewat ribuan cara, sampai akhirnya pengindraan itu mengisi ingatan, dan ingatan mengisi idea-idea. Semuanya itu jelas mengiring kepada konklusi bahwa yang ada hanya materi yang dapat dipengaruhi indera kita. Oleh karena itu yang dapat kita ketahui hanyalah materi, dan karena itu pula maka filsafat materialisme haruslah diterima. Bila pengindraan adalah asal-usul pemikiran, maka kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian dengan Uskup George Barkeley (1684-1753), analisa pengetahuan Lockeini justru membuktikan bahwamateri itu sebenarnya tidak ada. Materi itu hanyalah bentuk kejiwaan (a form of mind). Penolakan Barkeley ini merupakan suatu idea yang brilian tentang ketidak benaran materialisme dengan memperlihatkan bahwa kita tidak pernah mengenali sesuatu yang disebut benda (materi).Tetapi hanyalah orang-orang caelic di Eropa yang dapat memaham pendapat Barkeley itu. Akan tetapi, lihatlah betapa jelasnya akan hal itu, demikian sang Bishop berujar, bukankah Locke mengatakan bahwa semua pengetahuan kita datang dari pengindraan? Oleh karena itu, semua pengetahuan kita hanyalah pengindraan kita tentang benda itu, dan idea-idea kita diambil dari hasil pengindraan itu. Sesuatu adalah sekedar setumpuk persepsi. Itu tidak lain adalh klasifikasi dan penafsiran indrawi.
Seorang uskup Irlandia David Hume (1711-1776) pada umur dua puluh enam tahun telah mengguncangkan seluruh orang kristendengan bukunya Treatis on Human Nature, salah satu karya klasik yang cemerlang pada jaman filsafat modern. Kita mengetahui apa jiwa itu, kata Hume, sama dengan kita mengenali materi, yaitu dengan persepsi. Jadi secara internal kita tidak pernah suatu sosok yang bernama jiwa (mind); kita hanya mengenali idea, ingatan, perasaan dan sebagainya secara tepisah-pisah. Jiwa sebenarnya bukanlah substansi, suatu organ yang memiliki idea-idea. Ia sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Persepsi, ingatan dan perasaan adalah jiwa. Tidak ada jiwa yang dapat di observasi di belakang proses berfikir. Hasil yang muncul ialah Hume sudah menghancurkan mind sebagaimana Barkeley menghancurkan materi. Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya ditengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri.  Janganlah kaget bila anda mendengarkan kata-kata “No matter, never mind”.
Akan tetapi, Hume tidak begitu senang menghancurkan agama ortodok dengan cara menghilangkan konsep jiwa. Ia pun ingin menghancurkan sains dengan menghancurkan konsep hokum. Sains dan filsafat sama saja, sejak Bruno dan Galileo, Dibangun diatas asumsi hukum alam, yaitu sebab-akibat. Spinoza telah mengetengahkan metafisikanya menghadap konsep-konsep yang pongah itu. Akan tetapi, observasi, kata Hume, tidak [ernah kita ketahui hukum-hukumnya ataupun penyebabnya; kita hanya mengetahui kejadian dan urutan kejadian, lalu kita menarik hukum sebab-akibat dan keharusan darinya. Hukum bukanlah suatu yang terletak di luar atau suatu keharusan kejadian-kejadian itu. Yang disebut “hukum” oleh kita sebenarnya hanyalah suatu ringkasan kejiwaan atau tulisan pendek tentang pengalaman kita. Kita benar-benar tidak memiliki jaminan bahwa observasi berikutnya pasti akan menimbulkan kejadian yang sama dan dapt diramalkan. “Hukum” adlah suatu adat yang dapat kita saksikan dalam rentetan kejadian; tetapi ketahuilah tidak ada”keharusan” di dalam adat.
Dari beberapa pendapat diatas, muncul lah argumentasi dari Jean Jaques Rousseau (1712-1778) ia berjuang melawan dominasi abad pencerahan, abad akal yang materialistis dan atheis itu, suatu Zaman rasionalisme yang penuh diisi dengan hedonisme yang brutal. Rousseau mencoba melepaskan diri dari cengkraman realitas seperti itu. Bukunya, Confession  berisi uraian yang rumit dan sentimental tentang kesopanan dan harga diri. Melalui karya itu superioritas moralnya yang tak tercela mulai kelihatan.
Ketika ia memperhatikan kekacauan nilai pada waktu di Eropa, Rousseau mengatakan; bilamana filsafat berkembang, maka moral sehat suatu bangsa biasanya merosot. Perkataan itu juga pernah dikatakan oleh filosoft lain dala perkataan “ Bila orang terpelajar mncul, maka orang baik tidak akan ditemukan”. Ia juga mengatakan filsafat adalah kebalikan dari kemajuan yang wajar, bahwa orang yang berfikir (intelektual) adalah binatang yang merusak. Sebaiknya perkembangan ilmu intelek kita hentikan. Diganti dengan kemajuan kalbu dan perasaan kita. Pendidikan tidak akan menghasilkan manusia yang baik. pendidikan hanya memandaikan manusia, biasanya untuk kejahatan. Naluri dan perasaan jauh lebih baik daripada rasio (Durant: 260).
Argumen yang diajukan dalam Confession ringkasannya adalah sebagai berikut; Kalau akal menentang kepercayaan kepada Tuhan d an keabadian jiwa, mengapa kita tidak berpegang kepada naluri yang dapat membantah skeptisisme. (Durant: 260).
2.      RENAISSANCE
1.      Renaissance di Eropa dan Perkembangan Filsafat
Tahap awal munculnya renaissance tidaklah membuat filsafat lansung bangkit dan berkembang, sebab harus berkonfrontasi dengan pemikiran keagamaan. Setelah dua zaman baru terlihat benih-benih perkembangan dibidang filsafat yang dilandasi kesadaran kuat akan eksistensi kehidupan. Diantaranya muncul tokoh seperti R. Descartes, B. Spinoza dan Leibniz. Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan matematika (logika kepastian), yang kemudian membentuk diri menjadi sebuah paradigma berpikir rasional.
Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan filsafat Aristoteles. Kemunculan para ilmuan inilah menjadikan zaman Renaissance melangkah pada masa pendewasaannya yang dikenal dengan Aufklarung (pencerahan atau zaman budi).
2.      Aufklarung
Zaman ini dikenal dengan “zaman pencerahan” atau “zaman fajar budi”, Aufklarung merupakan lanjutan dari Renaissance, kalau Renaissance dipandang sebagai peremajaan pikiran maka Aufklarung menjadi masa pendewasaannya. Dalam masa ini juga banyak muncul tokoh-tokoh filsuf, seperti di Inggris: J. Locke, G. Berkeley dan D. Hume, Di Prancis: JJ. Russeau (1712-1788).
Utamanya tokoh-tokoh ini mendasarkan pengetahuannya pada pengalaman nyata, sehingga mengarah kepada realisme yang naif, yang mengakui kebenaran objektif atas dasar pengalaman yang tanpa penelitian lebih lanjut. Tetapi kenyataan ini berubah ketika filsuf jerman Immanuel kant muncul yang mencoba menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme sehingga ia dianggap sebagai filsuf terpenting zaman modern.
Keberagaman pemikiran yang berkembang melahirkan berbagai pemahaman dan kepercayaan, masing-masing mulai membentuknya menjadi paradigma yang diakui dan diterima oleh sebuah kelompok. Paradigma yang diakui inilah kemudian muncul dan menjadi semacam sekte atau aliran-aliran dalam perkembangan filsafat. Dibawah ini akan disebutkan tokoh-tokohnya sesuai dengan tugas makalah penyusun.
3.       Renaissance
Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan filsafat Aristoteles.
Renaissance adalah istilah bahasa Prancis. Dalam bahasa latin, re + nansi berarti lahir kembali (rebirt). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjasi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini dikembangkan oleh J. Burckhrardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat indivdualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan (Runes : 270). Karya filsafat pada abad inni sering disebut filsafat Renaissance (runes : 271)
Batas yang jelas mengenai kapan dimulainya penghabisannya Abad Pertengahan sulit ditentukan. Yang dapat ditentukan ialah bahwa Abad Pertengahan itu telah selesai tatkala datangnya Zaman Renaissance yang meliputi kurun waktu abad ke-15 dan ke 16 (Bartens : 44). Abad pertengahan adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains sulit terjadi, juga perkembangan filsafat, bahkan dikatan bahwa manusia tidak kreatif. Di dalam perenungan mencari alternative itu orang teringat pada suatu jaman ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikungkung, sains maju, yaitu Zaman dan peradaban Yunani kuno.Ussaha ini sebenarnya telah dimulai di dalam karya orang-orang Italia di dalam kesusastraan, misalnya pada Petrarca (1304-1374)
Selama abad ke-14 dan ke-15 di Italia muncul keinginan yang kuat akan penemuan-penemuan baru dari dalam seni dan sastra. Mereka telah melihat pada periode pertama bahwa kemajuan itu tela terjadi. Ketika itu dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode, yaitu ancient, medieval, dan modern.  Pada Zaman Ancient atau Zaman Kuno itu mereka melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan. Zaman Renaissance rupanya dianggap juga sebagai suatu babak penting dalam sejarah peradaban. Viltaire, orang yang membagi babak sejarah peradaban menjadi empat, menganggap Renaissance merupakan babak ketiga dari keempat babak itu. Pada abad ke-19, Renaissance terutama dipandang sebagai masa yang penting dalam seni dan sastra. Menurut Julest Michelet, sejarawan Prancis terkenal yang telah disebut di atas, Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia. Dialah yangmula-mula menemukan bahwa Renainssance lebih dari sekedar kebangkitan peradaban yang merupakan permulaan kebangkitan dunia modern. Sejarawan ini diikuti oleh Jacob Burckhardt yang menginterpretasikan Renaissance sebagai perode sejak Dante sampai Michelangelo di Italia, yang merupakan kelahiran spirit modern dalam transformasi dan idea dalam lembaga-lembaga. Pendirian Burckhardt ini kelak ditentang oleh orang-orang yang mempelajari Abad pertengahan. Mereka meragukan peletakan tahun ynag dikemukakan oleh Burckhardt itu (lihat Encyclopedia Americana, 23:368). Dari berbagai perdebatan tentang Renaissance, yang dapat diambil ialah bahwa Renaissance ialah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah Abad Kegelapan sampai muncul Abad Modern.Perkembangan itu terutama sekali dalam seni lukis dan sastra. Akan tetapi, diantara perkembangan itu terjadi juga perkembangan dalam bidang filsafat. Renaissance telah menyebabkan manusia mengenal kembali dirinya menemukan dunianya. Akibat dari sini ialah munculnya penelitian-penelitian empiris yang lebih giat.
Berkembangnya penelitia empiris merupakan salah satu cirri Renaissance. Oleh karena itu ciri selanjutnya adalah munculnya sains. Di dalam bidang filasfat, Zaman Renaissance tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Perkembangan ini dipicu lebih cepat setelah Descartes berhasil menungumumkan rasionalismenya, sejakmdan juga telah dimulai sebelumnya, yaitu sejak permulaan Renaissance, sebenarnya individualism dan humanism telah dicanangkan Descartes untuk memperkuat idea-idea ini. Humanisme dan Individualisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang-orang yang beragama.
Tokoh-tokoh penemu sains pada masa ini adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johanes Kepler (1571-1630), dan Galileo Galliley (1564-1643). Semuanya hidup pada Zaman Renaissance, baik bagian tengah maupun bagian akhirnya.b aman ini sering juga disebut Zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini ialah manusia diangkat dari Abad Pertengahan.
Jadi cirri utama Renaissance adalah humanism, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme, rasionalisme. Hasil yang diperoleh oleh watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukanpada Zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (Zaman Modern). Sains berkembang karena semangat dari hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan jelas kelak pada Zaman Modern.Rupanya setiap gerakan pemikiran memiliki kecendrungan menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negative.
Jadi, Zaman Modern Filsafat didahului oleh Zaman Renaissance. Sebenarnya secara esensial Zaman Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari Zaman Modern. Ciri-ciri Filsafat Renaissance ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafatnya kita menemukan cirri-ciri Renaissance tersebut. Ciri itu antara lain adalah menghidupkan kembali rasionalisme Yunani (renaissance), individualism, para ahli lebih senang menyebut Descartes sebagai tokoh rasionalisme. Penggelaran yang tidak salah, tetapi bukan hanya Descartes yang dapat dianggap sebagai tokh rasionalisme. Rasionalis pertama dan serius pada Zaman Modern memang Descartes.
3.      RASIONALISME (DESCARTES, SPINOZA, LEIBNIZ)
secara singkat aliran Rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan  diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Orang mengatakan (biasanya) bapak aliran ini ialah Rene Descartes (1596-1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh sebelum itu. Orang-orang yunani kuno telah menyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar lebih-lebih  Aristoteles.
a.      Definisi Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat  yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mangajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai untuk semua pengetahuan ilmiah.
Kalau dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.  Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas idea yang kabur. Lain halnya dengan rasionalisme, bahwasannya rasionalisme berpendirian sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul, hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terdapatlah apa yang dinamakan pengetahuan. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.
Maka dari itu Aliran ini merupakan bantahan kuat atas aliran empirisme, yang menekankan pencerahan indrawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pada hakikatnya berkata bahwa rasa (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi terdiri atas pertimbangan-pertimbangan yang benar, yang bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa (sense) dan pengalaman yang kita peroleh dari indera penglihatan, pendengaran, suara, sentuhan, rasa dan bau hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan. Rasa tadi harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem, sebelum menjadi pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep, prinsip dan hukum, dan tidak dalam rasa.
Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengetahui dengan pasti tentang beberapa hal yang mengenai alam. Sebagai contoh; jika A lebih besar daripada B, dan B lebih besar dari pada C, maka A lebih besar dari pada C. Kita mengetahui bahwa hal itu adalah benar tanpa melihat kepada contoh-contoh yang konkrit. Kita mengetahui bahwa kaidah tersebut dapat dipakai untuk peta-peta, kota-kota, bangsa-bangsa, walaupun kita tidak mengalaminya atau mencobanya. Diantara kebenaran-kebenaran yang pasti (necessary truth), yakni kebenaran yang tidak bersandar pada pengamatan, baik untuk mengetahuinya atau untuk mengkaji kebenarannya adalah ; 5+5=10. tiga sudut dalam segitiga adalah sama besarnya dengan dua sudut lurus.
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dalam sebuah dialog yang disebut Meno, dia berdalil, bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya? Plato menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah sesuatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apapun; ia hanya “teringat apa yang dia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran.
Dengan kata lain, pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif, teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Filosofnya antara lain Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.
Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari otoritas; dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.
Penemuan-penemuan logika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (socrates, plato, aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes yang akan dibahas setelah ini, bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini rasionalisme dikembangakn secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
b.      Tokoh –tokoh Rasionalisme di Era Modern
1)            Descartes (1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni ialah discours de la methode (1637) dan meditations (1642). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Metode ini sering juga disebut cotigo Descartes, atau metode Cogito saja.
Menurut catatan, Descartes adalah orang inggris. Ayahnya anggota parlemen inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke prancis. Ia taat mengerjakan ibadah menurut ajaran agama katholik, tetapi ia juga menganut Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun 1629 sampai tahun 1649 ia menetap di belanda.
Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya; yaitu keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof abad pertengahan. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Tentu saja pernyataan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan. Kata modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak filsafat pada abad pertengahan kristen. Corak utama filsafat modern yang  dimaksud di sini ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa yunani kuno. Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance. Apa yang lahir kembali itu? Ya, rasionalisme yunani itu.
Descartes dianggap sebagai bapak Filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang Distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya.
Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh gereja. Apakah ada filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman abad pertengahan itu? Ada, Tokoh itu adalah Decartes.
Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme yunani.
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh gereja waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat di dalam jargon credo ut intelligam dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang di dalam metode cogito tersebut.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan ghaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata,”aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi keluar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi ) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh Descartes.
Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kuta melihat dan mengalami benda-benda itu; dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi: adakah benda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukanya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti dari pada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragukan. Kalu begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.
Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode  cogito. Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat diragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau  hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat diragukan adanya.
Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat diringkaskan sebagai berikut:















Benda inderawi tidak ada

Gerak, jumlah, besaran(ilmu pasti) tida ada

































Sekarang Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat abad pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualistis, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah yang nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.
2)            Spinoza (1632-1677)
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677. nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam (solomon, 1981:71)
Menurut Solomon (1981:71), caara terbaik mempelajari metafisika modern ialah mempelajari karya-karya metafisika para filosof. Mempelajarinya jangan terpisah-pisah, misalnya kosmologi lebih dahulu, kemudian ontologi. Cara seperti ini akan menyulitkan kita mengetahui hubungan perekat dalam sistem filosof tersebut. Untuk pengantar mempelajari metafisika modern, solomon menganjurkan mempelajari lebih dulu metafisika pada abad ke-17. Filosofnya ialah Spinoza, dan yang kedua ialah Leibniz (1646-1716). Filosof kedua ini adalah filosof jerman modern terbesar yang pertama.
Metafisika modern biasanya dikatakan dimulai oleh Descartes (1596-1650). Metodenya untuk sampai kepada kepastian sempurna lewat deduksi metematis, sah untuk diterima (solomon: 71). Akan tetapi, halnya tidak sesederhana itu. Metafisika mempunyai jalur yang panjang sejak yunani, melintasi abad pertengahan, barulah kepada Descartes. Oleh karena itu, kita tidak usah heran menemukan bahwa konsep sentral dalam metafisika Descartes adalah substansi dan definisi, yang sesungguhnya sudah ada pada Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, ia pun berpendapat bahwa sesuatu untuk ada tidak memerlukan yang lain (bila adanya karena yang lain, berarti substansinya kurang meyakinkan). Nah, baik Spinoza maupun Leibniz ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga filosof ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya dikelompokkan ke dalam satu mazhab, yaitu rasionalisme.
3)            Leibniz (1646-1716)
Gotifried Wilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. ia filosof jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi negara. Pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig jerman. Sekolah di Nicolai di Leipzig. Bapaknya adalah seorang guru filsafat etika di Universitas Leipzig. Ia menguasai banyak bahasa dan banyak bidang pengetahuan. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi mahasiswa universitas Leipzig, mempelajari hukum, tetapi ia juga mengikuti kuliah matematika dan filsafat. Pada tahun 1666, tatkala ia belum berumur 21, ia menerima ijazah doktor dari universitas Altdorf, dekat Nuremberg, dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (on complex cases at law). Universitasnya sendiri menolak mengakui gelar doktornya itu karena umurnya terlalu muda, makanya ia meninggalkan Leipzig pindah ke Nuremberg.
Pada januari-maret 1673 Leibniz pergi ke london menjadi atase politik. Di sana ia dapat bertemu dengan banyak ilmuwan seperti Robert Boyle. Tahun 1675 ia menetap di Hannover, dari sana ia jalan-jalan ke london dan Amsterdam. Di Amsterdam ia bertemu dengan Spinoza.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyain alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology(studi tentang monad) yang ditulisnya 1714.
4.      IDEALISME (PASCAL, KANT)
Idealisme, kadang-kadang digunakan istilah mentalisme atau imaterialisme yaitu keyakinan bahwa hanya Roh, Jiwa, Pikiran dan isinya yang ada. Sebuah istilah yang pertama kali digunakan secara filosofis oleh Lebmniz awal abad ke-18. ia meneapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankannya dengan materialisme Epikorus
Di dalam filsafat, adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakekat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungan pada jiwa(mind) dan spirt(roh). Istilah ini diambil dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini pada plato. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley(1685-1753) yang menyatakan bahwa hakekat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad ke-18; menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus.
Ideallisme menggunakan argument epistimologi tersendri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme mengejarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argument epistimologi yang digunakan idealisme.. mereka menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan Tuhan; argument orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.
Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistimologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan a priori dapat atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya.
Plato sering disebut sebagai seorang idealis sekalipu idea-nya tidak khusus(spesifik) mental, tetapi lebih lebih merupakan objek yang universal(mirip deana definisi pada Aristoteles, pengertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia sependapat dengan idealisme moderan yang mengajarklan bahwa hakekat penampakan(yang tampak) itu berwatak(kahs) spiritual. Ini terlihat jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal itu. Pandangan ini dikembangkan oleh plotinus.
Idealisme pertama dalam pengertian moderan adalah Berkeley yang pada abad ke-18 menolak eksistensi benda-benada. Pada abad ke-17 sudah ada tendensi yang kuat menuju terbentuknya paham ini. Itu kelihatan pada “keraguan” Descartes menghadapi fisik. Berkeley juga digolongkan sebagai emperisis, bukan sebagai idealis, tetapi ia sebenarnya terletak diantara kedua-duanya.
Kant mennyebut dirinya sebagai idelais emperis, tetapi ia sebenarnya idealis transcendental(transcendental idealist). Ia menyatakan bahwa ruang dan waktu adalah cara manusia memahami suatu objek; jadi ruang dan waktu baginya tidak eksis. Ia disebut idealis transendental terutama karena ia berpendapat bahwa kita dapat menjelaskan cara memperoleh pengetahuan baru secara a priori seperti didalam geometri, dan membuktikan kategori-kategori seperti subtansi dan sebab yang hanya padanya sains bergantung. Pandangan-pandangan ini selanjutnya didukung oleh antinomy-antinomi yang akan muncul bila kita mempermasalahkan ketakterbatasan (infiniti).
Reesel(1980:243) meringkaskan berbagai tipe filsafat idealisme sebagai berikut:
a.      Schelling menamakan idealisme fichte adalah idralisme subjektif karena bagi fichte adalah suatu tempat memahami subjek. Solipsisme, suatu pandangan metafisika yang mengatakan bahwa yang dapat dipahami adalah diri sendiri, dapat digolongkan kedalam idealisme subjektif. Fichte, tokoh yang  berpendapat bahwa kemauan moral(moral will) sebagai yang utama di dalam idealisme, dianggap sebagai pendiri idealisme Jerman.
b.      Schalling menyebut filsafatnya pada masa pertengahan perkembangan pemeikirannya idealisme subjektif(objective idealis) karena menurut pandangannya, alam adalah sekedar “intelejensia yang dapat dilihat” (visible intellijence). Kalau begitu maka seluruh filosofis yang berusaha mengidentifikasi realitas dengan idea, rasio, atau spirit, seperti Berkey dan seluruh filosofis panpsikisme, dapat di golongkan kedalam jalur idealisme objektif.
c.       Hegel dapat menerima adanya penggolongan menjadi idealisme subjektif dan idealisme objektif. Dari sini ia mengemukakan filsafatnya tesis-antitesis, dan ia mendirikan alur pemikirannya semdiri yang disebutnya idealisme absolute sebagai sintesis tertinggi dibandingkan dengan idealisme subjektif(tesis) dan idealisme objektif(antitesis). Sejak Hegel mengemukakan idealisme absolute banyak filosofis yang menekankan pemikirannya pada yang absolute. Diantara tokoh idealisme absolute adalah Bradley, T.H Green, Bernard Bosanquest, dan Josiah Roice.
d.      Kant menyebut filsafatnya idealisme transendal atau idealisme kritis(critical idealism). Disini diajarkan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh bukanlah “ianya”(thing-in them selves), dan ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi kita. Menurut Schalling idealisme transcendental Kant itu sama saja dengan idealisme objektif.
e.      Pendapat yang mengantakan bahwa seseorang hanya dapat kontak dengan idea-idea, atau pada kesempatan tertentu dengan sosok, fisik, kadang-kadang disebut idealisme epistimologi (epistemological idealisme). Bila ini kita terima, maka tokoh-tokoh berikut ini dapat digolongkan penganut idealealisme epistimologi, yaitu locked dan kebanyakan emperesis, tokoh-tokoh okasionalisme prancis, begitu juga dengan fenomenologisme. Oleh karena itu, pengategorian itu menyebabkan kebingungan karena pengategorian dari segi epistimologi ini akan memasukkan orang-orang yang posisi metafisikanya realisme, dualisme, materialisme, dan sekeptisisme kedalam satu kelompok(idealisme epistimologis).
Jadi, istilah idealisme itu berkembang dalam berbagai pengertian, dan berkembang menjadi berbagai spesies.
Filsafat abad ke-18 didominasi oleh kaum emperisis ingris, dimana Locke, Berkeley, dan Hume biasa dikatakan sebagai wakil mereka. Pada diri orang-orang ini terdapat konflik, yang sepertinya merka tidak sadari, antara tempramen pikiran dengan kecondongan doktrin teoretik mereka.


1.      Pascal (1623-1662)
Ia banyak mempelajari pemikiran Agustinus(354-430) dan Montaigne(1533-1592). Pada tahun 1646 seluruh keluarga Pascal masuk mazhab Jansenisme, yaitu suatu aliran dalam agama katolik yang tanpa kompromi menganut teologi Agustinus dan mengingkari dunia(Edwards, Encyclopdia of Philosophy,).
Ada dua cara memperoleh pengetahuan menurut pascal, Pertama dengan menggunakan akal dan kadua dengan menggunakan Hati(heart). Ia mengatakan we know truth not only by reason but more so by the heart (Edwerds, Encyclopdia of Philosophy). Akal dengan segala perangkatnya yang dimikinya dapat mengetahui aspek-askpek tertentu, tatkala akal tidak mampu menjangkau sesuatu maka hati dapat menyingkap hal itu.
Kata pascal, manusia besar karena pikirannya dan kesadaran refleksinya. Tetapi, katanya lagi, ada hal-hal yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh pikiran manusia, yaitu pikiran manusia itu sendiri.
Manusia menurut pascal, adalah mahluk yang rumit dan kaya dengan variasi serta mudah berubah. Karena itu metematika tidak akan mampu menjadi alat untuk memahami manusia. Ia juga menganggap pikiran dan logika serta metafisika tidak mungkin dapat dijadikan alat untuk memahami manusia. Baginya, alat-alat itu hanya dapat untuk memahami objek-objek yang beblas kontradiksi, yaitu yang memililki sifat yang konsisten. Sedangkan manusi adalah mahluk yang penuh kontradiksi.
Karena keidak mampuan filsafat dan alat-alat lain uantuk memahami manusia, maka satu-satunya  jalan memahami manusia, kata pascal, ialah melalui agama.
Pengetahuan tentang agama memang rumit. Pascal menganggap bahwa unsur-unsur pokok agama adalah kesamaran-kesamaran dan kita tidak mampu menangkapnya secara keseluruhan. Pandangan Pascal ini sama dengan Kierkegaard tatkala dia mengatakan bahwa kehidupan religious adalah kehidupan yang sangat paradoks. Bagi Kierkegaard usaha untuk memehami paradoks itu hanya akan menghasilkan pengingkaran dan penghancuran kehidupan religious(Cassirer, 1990;109). Filsafat, kata pascal, dapat melakukan apa saja, tetapi hasilnya tidak sempurna. Kesempurnaan itu ada pada iman. Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan memperoleh kepuasan karena memang manusia memiliki logika yang kemampuannya itu melampaui logika itu sendiri(Hastings, Encyclopdia of Philosophy).
Berkenaan dengan usaha mencari Tuhan, Pascal tidak menggunakan argument metafisika, karena disamping tidak termasuk bidang geometri, juga tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap keimanan seseorang. Pascal menafikkan metafisika dan solusinya ialah “kembalikan persoalan ketuhanan kepada jiwa”.
Kesimpulan filsafat Pascal antara lain ialah sebagai berikut;
a.      Pengetahuan diperoleh melalui dua jalan, yaitu akal(reason) dan hati(heart).
b.      Hati memiliki logika tersendiri;
c.       Unsur terpenting dalam manusia ia kontradiksi; satu-satunya jalan memahami manusia adalah jalan agama;npengetahuan-pengetahuan rasional tidak mampu menyingkap manusia, pengetahuan rasional itu hanya mampu menagkap objek-objek yang bebas dari kontrafiksi;
d.      Tuhan juga tidak dapat dipahami melalui argument metafisika, Tuhan hanya dapat dipahami melalui hati.


2.      Imanuel Kant(1724-1804)
Kant, pendiri Idealisme Jernan, bukanlah orang yang penting secara politis, meski dia menulis sejumlah esai menarik tentang pokok bahasan politik. Terdapat sejumlah karekteristik umum dari idealis Jerman, yang bisa dijelaskan sebelum sampai pada perinciannya. Dalam pemikiran Kant banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang kelak ditolaknya, dan barangkali yang tebesar adalah yang datang dari pemikiran Humen.
Di Jerman, reaksi terhadap agnotisme Humen muncul dalam bentuk yang lebih nyata dan tajam dibanding reaksi Rousseau terhadapnya. Kant, Fichte, dan Hegel membangun filsafat jenis baru yang ditujukan untuk mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari doktrin-doktrin subversive akhir abad ke-18.
Keritik pada pengetahuan, sebagai sarana mencapai simpulan filosofis, di tekankan oleh Kant dan diterima oleh pengikutnya. Ada penekanan yang dilawankan dengan materi, yang pada akhirnya mengarah pada penegasan bahwa hanya pikiranlah yang eksis.
Di dalam buku The Critique Of Pure Reason(edisi pertama,1781) karangan terpenting Kant. Yang dimaksud Kant dalam critique adalah pembahasan kritik. Dalam pembahasannya ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas(pure reason). Yang dimaksudnya akal murni adalah akal bekerja saecara logis, katakanlah akal yang di keapala. Ia dalam pembahansannya meletakkan akal murni itu diatas akal tidak murni; akal tidak murni itu adalah indera. Pure reson itu menghasilkan pengetahuan yang tidak melalui indera, bebas dari penginderaan. Untuk mendapatkan pengetahuan itu adalah, menurut Kant, pengetahuan yang diperoleh melalui akal murni itu kita peroleh dari watak dan struktur jiwa kita yang inheren(lihat Durant, 1959;265). Jadi, cara masuknya pengetahuan itu adalah melalui watak dan struktur jiwa yang ada pada kita.
Kita ingat John Locke; ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman(lihat solomon1981;108). Jadi, tidak ada lagi pengetahuan yang masuk lewat jalan lain. Kata Kant, pengetahuan tidak seluruhnya masuk lewat indera(Durant, 1959;265).
Menurut Kant, pengertahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori. Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?.
Menurut buku Criticue, pengalaman tidak lain adalah lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman mengatakan kepada kita apa-nya, bukan apa ia sesungguhnya. Jadi, pengalaman tidak tidak menunjukkan hakekat objek yang dialami. Oleh karena itu, pengalaman tidak dapat menghasilkan kebenaran umum.
Di sini Kant mulai memperlihatkan apa yang di perjuankannya; kebenaran uumum harus bebas dari penalaman, harus jelas dan pasti dengan sendirnya(Durant, 1959;266). Maksudnya, pngetahuan yang umun, kebenaran yang umum, itu tetap benar, tidak peduli apa pengalaman kita tentang kemuidian. Bahkan kebenaran umum itu benar sekalipun belum dialami. Inilah kebenaran yang apriori.
Di dalam buku The Critique Of Pure Reason(edisi pertama,1781) karangan terpenting Kant, tujuan karya ini adalah untuk membuktikan bahwa, kendati pengetahuan kita tak satupun yang mampu melampaui pengalaman. Menurutnya, bagian pengetahuan kita yang a priori(atau teoritik) tidak hanya meliputi logika, namun juga banyak hal yang tidak dimasukkan kedalam logika atau disimpulkan darinya.
Namun ada bagian yang sangat terpenting dalam karyanya itu, Kant membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk a priori, Kant memiliki dua kelompok argument; yang pertama metafisis, yang Kedua epistimologis, atau sebagaimana ia menyebutnya, transcendental.
Ada empat argument metafisis mengenai ruang waktu.
1)          Ruang bukanlah emperik, yang diabstrakkan dari pengalaman luar, karena ruang dimisalkan keberadaannya dengan merujuk pada sesuatu yang ekternal, dan pengalaman eksternal hanya dimungkinkan melalui kehadiran ruang.
2)          Ruang merupkan kehadiran a priori mutlak, yang mendasari semua persepsi eksternal; karena kita tidak dapat membayangkan tentang ketiadaan ruang, kendati kita dapat membayangkan bahwa dalam ruang itu tidak ada apa pun.
3)          Ruang tidaklah diskursif dan bukan konsep umum mengenai hubungan benda secara umum, Karena yang ada hanyalah satu ruang, sedangkan yang biasa kita sebut “ruangan”hanyalah bagian-bagiannya, bukan keutuhannya.
4)          Ruang tersaji sebagai ukuran besar yang tak terhingga, yang melingkupi selulruh bagian ruang.
Argument transcendental mengenai ruang bersal dari geometri. Kant berpendapat bahwa geometri Euclidan di kenal a priori, kendati ia bersifat sintesis, yakni tidak bisa di tarik dari logika semata. Bukti geometri, menurutnya, bergantung pada angka; kita dapat melihat, misalnya. Bahwa, jika dua garis lurus berpotongan pada sudut kanan, maka hanya garis lurus pada sudut kanan menuju keduanya yang bias di tarik melalui titik perpotongannya.
5.      IDEALISME OBYEKTIF (FICHTE, SHELIING, HEGEL)
1.       J.G. Fichte
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) kerap kali menunjukkan filsafatnya sebagai “Wissenschaftslehre”. Yang dimaksudkannya dengan nama ini ialah suatu refleksi tentang pengetahuan. Fichte sepakat dengan Kant bahwa semua ilmu membahas salah satu obyek tertentu, sedangkan fil­safat bertugas memandang pengetahuan sendiri. Oleh karenanya filsafat merupakan ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain dan akibatnya dinamai sebagai “Wissenschaftslehre” yang sebetulnya berarti “ajaran tentang ilmu pengeta­huan”. Bagi Fichte, “Wissenschaftslehre” itu bukanlah suatu perenungan toritis mengenai struktur dan kesaling berhubungan antara satu ilmu pengetahuan dan yang lainnya, melainkan suatu perenungan mengenai ilmu pengetahuannya sendiri. Maka Fichte menyatakan bahwa terdapat beberapa syarat fundamental yang harus dipenuhi agar sebuah pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Dalam mengembangkan pemikirannya, Fichte telah menganalisis beberapa pemikiran. Akhirnya ia mempunya kesimpulan, bahwa di dalam filsafat itu mempunyai dua pendirian; pertama, dogmatisme dan kedua, kritisisme. Dari pendapatnya ini, Fichte memandang Kant sebagai seorang dreiviertelskopf, karena Kant masih berpendapat bahwa materi itu betul-betul ada, tak tergantung oleh kesadaran manusia. Kritik Fichte lebih disebabkan oleh keyakinannya yang lebih menyukai suatu idealisme radikal yang diturunkan oleh “Aku” yang absolute (Tuhan) atau kesadaran mengiakan dirinya sendiri. Dengan kesadarannya aku-absolut menciptakan non-aku (alam semesta) sebagai antitesis. Non-aku ini pada mulanya tak sadar. Oleh karena itu, ia harus kembali ke kesadaran dalam aku-absolut. Proses kembalinya non-aku ke aku-absolut membawa seluruh realitas dan aktivitas moral yang kreatif.
Menurut pendapat Fichte, filsafat harus berpangkal bukan dari suatu substansi melainkan dari suatu perbuatan (“Tathandlung”), yaitu Aku Ab­solut mengiakan dirinya sendiri dan dengan itu mengadakan dirinya sendiri. Dengan lain perkataan, realitas seluruhnya harus dianggap menciptakan di­rinya sendiri (“self-creating”). Dengan cara inilah Fichte bermaksud juga memperdamaikan pertentangan antara rasio teoretis dan rasio praktis yang terdapat dalam filsafat Kant. Rasio teoretis tidak dapat ditempatkan pada awal mula, tetapi didahului dan dirangkum oleh suatu perbuatan. Oleh ka­rena itu memang pada tempatnyalah jika filsafat Fichte disebut idealisme praktis. Lalu aktivitas tak terhingga dari Aku Absolut itu mengadakan lapangan tempat ia dapat menjalankan aktivitas. Dengan lain perkataan, Aku Absolut menghasilkan suatu non-aku. Tetapi dengan berbuat demikian Aku Absolut itu serentak juga mengadakan diri sebagai aku terhingga yang dibatasi oleh non-aku. Dengan cara inilah Fichte dapat menerangkan ke-mungkinan pengalaman kita. Saya mempunyai kesan bahwa pohon yang saya lihat di situ memang terdapat di tempat itu sebagai sesuatu yang “asing” bagi saya, sebagai yang lain dari saya. Saya mengalami hubungan subyek-obyek. Tetapi menurut prinsip idealisme sama sekali tidak mungkinlah adanya obyek belaka. Karena itulah Fichte mengatakan bahwa “non-aku” (alam semesta) merupakan buah hasil aktivitas Aku Absolut dan juga aku terhingga merupakan buah hasil aktivitas itu. Tetapi harus di-tambah bahwa hasil ini diperoleh dengan cara tidak sadar (dan karena itu menjadi mungkin bahwa pohon mis. dilihat sebagai sesuatu yang “asing” bagi saya).
Menurut Fichte dualitas yang terdiri dari aku terhingga dan non-aku diperdamaikan lagi dalam praksis moral. Dan sebetulnya dualitas itu sama sekali perlu supaya praksis moral dapat dijalankan. Aku absolut mengadakan non-aku untuk menciptakan bahan bagi aktivitas moral. Dengan demikian perjuangan dan pekerjaan dimungkinkan. Moralitas termasuk inti sari pemi-kiran Fichte. Tetapi sayangnya di sini kami tidak sempat membicarakan fil­safat moral itu.
Berkenaan dengan Fichte tentu tidak boleh dilupakan “Atheismusstreit” (pertikaian tentang ateisme) yang timbul dalam kalangan-kalangan intelektual di Jerman pada akhir abad 18. Alasannya ialah anggapan Fichte yang radikal tentang Allah. Fichte mengemukakan suatu pengertian etis tentang Allah. Menurut dia agama sama dengan pengakuan adanya “the moral world order”. Cara Fichte menguraikan pendapatnya memberi kesan seakan-akan ia tidak menerima Allah yang bersifat personal. Fichte selalu membantah tuduhan bahwa dia seorang ateis. Tetapi ia juga menolak untuk mengubah ajarannya. Akhirnya pada tahun 1799 ia harus meletakkan jabatannya sebagai profesor di kota Jena.
2.      F.W.J. Schelling
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 -1854) sudah mencapai kematangan sebagai filsuf pada waktu ia masih berumur sangat muda. Pada tahun 1798, usianya baru 23 tahun, ia menjadi profesor di universitas di Jena. Sampai akhir hidupnya pemikiran Schelling selalu berkembang, biarpun dalam perkembangan pasti ada juga kontinuitas. Para sejarawan filsafat membedakan beberapa periode dan perkembangan pemikiran Schelling. Dalam periode terakhir Schelling terutama mencurahkan perhatian filosofisnya pada agama dan mistik. Di sini kita membatasi diri pada periode yang biasanya disebut “filsafat identitas”, karena taraf pemikiran inilah yang dapat dianggap sebagai gelang rantai yang menghubungkan filsafat Fichte dengan filsafat Hegel.
Sudah kita lihat bahwa pada Fichte alam (non-aku) adalah buah hasil Roh (Aku Absolut). Menurut Schelling, Roh tidak mempunyai prioritas terhadap alam (dunia), seperti alam tidak mempunyai prioritas terhadap Roh. Dua-duanya berasal dari sumber yang sama sekali netral, yang oleh Schelling dinamai sebagai Identitas Absolut atau Indiferensi Absolut. Jadi, sumber ini tidak boleh dianggap subyektif atau obyektif, material atau spiritual, sebab semua perlawanan atau oposisi terdapat di sini dalam bentuk kesatuan yang masih belum terpisah. Dari Identitas Absolut ini keluarlah alam serta roh dan dengan itu realitas seluruhnya. Oleh karenanyapada Schelling alam tidak ditempatkan di bawah roh (seperti halnya pada Fichte), tetapi alam dan roh seakan-akan membentuk dua kutub yang derajatnya sama. Roh selalu hadir dalam alam (biar dengan caratak sadar) dan alam selalu hadir dalam roh. Dalam menyusun filsafat identitas ini Schelling sangat dipengaruhi oleh pemikiran Spinoza, sehingga juga gaya bahasa yang dipakai dalam periode ini mirip dengan cara Spinoza menulis.
3.      G.W.F. Hegel
Idealisme Jerman memuncak pada Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831). Walaupun usianya lebih tua dari Schelling, namun Hegel me­nyusun karya-karyanya yang terpenting setelah Schelling sudah menjadi filsuf yang tersohor. Mula-mula ia dianggap sebagai murid Schelling, tetapi lama-kelamaan ia mencapai pendirian yang dengan jelas bersimpang jalan dengan filsafat Schelling. Sejak ia mengajar di universitas Berlin (tahun 1818), ia mengalami kepopuleran yang jauh melebihi kepcpuleran Schelling.
a.      Rasio, Ide, Roh
Hegel sangat mementingkan rasio. Tetapi, kalau dikatakan demikian, jangan kita salah mengerti maksudnya. Yang dimaksud bukan saja rasio pada manusia perorangan, tetapi juga dan terutama rasio pada Subyek Absolut, karena Hegel pun menerima prinsip idealistis bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subyek. Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal berbunyi: “Semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat real”. Maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (atau “Ide” menurut istilah yang dipakai Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel lain lagi, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi atas kecondongan intelektual pada waktu itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat dalam kalangan “filsafat kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman yang disebut “Romantik”.
b.      Dialektika
Untuk menguraikan filsafatnya, Hegel menggunakan metode dialektika. Atau dengan lebih tepat dapat dikatakan bahwa dalam realitas berlangsung suatu dialektika yang diungkapkan Hegel dalam filsafatnya. Apakah artinya di sini istilah “dialektika”? Sebetulnya yang dimaksud Hegel tidak begitu asing bagi pengalaman biasa. Dalam hidup sehari-hari kerap kali kita mengalami perlunya memperdamaikan hal-hal yang bertentangan. Tidak jarang terjadi bahwa kita mesti mengusahakan kompromi antara beberapa pendapat atau keadaan yang berlawanan satu sama lain. Nah, maksud Hegel mirip dengan pengalaman kita ini. la sangat mengagumi ucapan filsuf Yunani Herakleitos bahwa “pertentangan adalah bapa segala sesuatu”. la mengakui juga bahwa dialektika sebenarnya untuk sebagian sudah dipraktekkan dalam filsafat Fichte, karena filsuf idealis ini mempertentangkan “aku” dengan “non-aku” Tetapi pada Fichte “aku” dan “non-aku” hanya membatasi satu sama lain dan tidak menghasilkan kesatuan yang baru. Dan justeru itulah yang dimaksud Hegel dengan dialektika.
Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan kedua (sin­tesis). Dalam sintesis itu tesis dan antitesis menjadi “aufgehoben”, kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel memak-sudkan semua arti itu (dalam bahasa Inggeris umumnya diterjemahkan de­ngan “sublated”). Di satu pihak “aufgehoben” berarti: dicabut, ditiada-kan, tidak berlaku lagi. Dan itu memang dimaksudkan: karena adanya sintesis, maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi; sudah lewat. Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga: diangkat, dibawa kepada taraf lebih tinggi. Dan itu juga dimaksudkan Hegel: dalam sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru. De­ngan perkataan lain, dalam sintesis baik tesis maupun antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan perkataan lain lagi, kebenaran yang ter-kandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus Sin­tesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan anti­tesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. Maka dari itu proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan gerak garis lurus.
Sekarang marilah kita memandang beberapa contoh sebagiannya ber-asal dari Hegel sendiri sebagiannya disadui untuk menerangkan maksud­nya. Contoh pertama menyangkut tiga beniuk negara. Bentuk negara yang pertama ialah diktatur: di sini hidup kemasyarakatan diatur dengan baik, tetapi para warga negara tidak mempunyai kebebasan apa pun juga (tesis). Keadaan ini menampilkan lawannya: anarki (antitesis). Dalam bentuk ne­gara ini para warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Tesis dan antitesis ini diperdamaikan dalam suatu sintesis, yaitu demokrasi konstitusional. Dalam bentuk negara yang ketiga ini kebebasan para warga negara dijamin dan dibatasi oleh undang-undang dasar dan hidup kemasyarakatan oerjalan dengan memuas-kan (= sintesis). Dalam demokrasi konstitusional baik diktatur maupun anarki dijadikan “aufgehoben”. Itu berarti bahwa dengan timbulnya de­mokrasi konstitusional kedua bentuk lain sudah lewat atau sudah tidak ada lagi. Tetapi itu berarti juga bahwa apa yang bernilai dalam diktatur dan anarki masih disimpan pada taraf lebih tinggi dalam demokrasi konstitusi­onal. Yang bernilai dalam diktatur ialah hidup kemasyarakatan yang ter-atur dan yang bernilai dalam anarki ialah kebebasan. Nah, kedua-duanya disimpan dalam demokrasi konstistusional tetapi demikian rupa sehingga sudah diperdamaikan satu sama lain.
Contoh kedua adalah keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan anak. Bagi suami sang isteri adalah yang lain dan bagi isteri sang suami adalah yang lain. Suami dan isteri merupakan dua kutub yang bertentangan (tesis dan antitesis). Nah, anak dapat dianggap sebagai sintesis yang memperda­maikan tesis dan antitesis tadi. Bagi suami, anak tidak merupakan yang lain begitu saja, sebab dalam anaknya ia mendapati sebagian dirinya sendiri. Bagi isteri juga, anak tidak merupakan yang lain begitu saja, sebab dalam anaknya ia menemui sebagian dirinya sendiri. Pertentangan antara suami dan isteri sudah menjadi “aufgehoben” dalam si anak.
Contoh ketiga adalah tiga konsep yang sering dipakai dalam filsafat: “ada”,  “ketiadaan”,  “menjadi”.”Ada”  merupakan tesis.  Lawannya adalah “ketiadaan” yang merupakan antitesis. Tetapi pertentangan ini diper-damaikan dalam sintesisnya, yaitu “menjadi”. Apa sebabnya? Karena “men­jadi” berarti sebagian ada sebagian tidak ada. Hal yang menjadi memang sudah ada tetapi belum sepenuh-penuhnya.
Hegel secara konsekuen menggunakan metode dialektika, sehingga pem-bagian-atas-tiga berulang kali muncul dalam karya-karyanya. Di sini kami hanya menyebut cara Hegel membagikan sistemnya. [1] Bagian pertama sis-tem Hegel adalah “logika”. Istilah ini buat Hegel mempunyai arti lain dari-pada yang biasa dimaksud dengannya. Logika adalah bagian filsafat yang memandang Roh dalam dirinya, [2] “Filsafat alam” adalah bagian filsafat yang memandang roh yang sudah diluar dirinya sendiri atau yang sudah terasing dari dirinya sendiri, [3] Akhirnya bagian terakhir sistemnya disebut “filsafat Roh”. Di sini diuraikan bagaimana Roh kembali pada dirinya.
c.       Sejarah
Di atas sudah diuraikan bahwa realitas seluruhnya dianggap Hegel sebagai proses jadi sadarnya Roh Absolut. Ini mengizinkan Hegel memberikan tempat khusus kepada sejarah. Dengan munculnya manusia, Roh sudah menjadi sadar akan diri sendiri (belum dalam alam!). Tetapi proses penyadaran ini berlangsung terus dalam sejarah manusia, hingga akhirnya mencapai titik penghabisan. Seluruh proses ini berlangsung berdasarkan dialektika yang diterangkan tadi. Dan dapat ditambah lagi bahwa metode dialektis Hegel terutama memperoleh suksesnya karena diterapkan pada sejarah. Proses ini berarti bila Roh menjadi Absolut dari arti sepenuhnya atau, dengan perkataan Hegel sendiri, bila Roh menjadi “an und fur sich” (pada dan bagi dirinya). Hegel berkeyakinan bahwa pada waktu itu (permulaan abad 19) Roh sudah menjadi Absolut dan karena itu proses penyadaran Roh sudah selesai. Dalam segala bidang. Dalam bidang politik misalnya hal itu menjadi nyata dalam negara Prusia sesudah revolusi Perancis dan kejadian-kejadian sekitar Napoleon. Dalam bidang agama hal itu menjadi nyata dalam agama kristen protestan. Dan dalam bidang filsafat hal itu menjadi nyata dalam filsafat Hegel sendiri yang sanggup memperlihatkan Roh Absolut menjadi sadar akan dirinya dalam arti sepenuh-penuhnya. Apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa bagi Hegel sejarah manusia sudah berakhir? Haras dijawab di sini: ya dan tidak. Sejarah manusia tidak berakhir dalam arti bahwa tidak lagi adahari depan untuk manusia. Besokjugatentu ada peristiwa-peristiwa yang akan berlangsung. Tetapi sejarah sudah mencapai penghabis-annya dalam arti bahwa tidak lagi akan terjadi sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Segala kemungkinan telah dialami Roh dalam perjalanannya menuju ke-sadaran diri. Mulai kini sejarah hanya dapat mengulangi saja bentuk atau sta­dium lama.
Sejarah filsafat oleh Hegel ditempatkan dalam perspektif yang sama. Dalam sejarah filsafat kita menyaksikan proses Roh menjadi sadar akan dirinya. Bahkan sejarah filsafat merupakan bentuk tertinggi proses penya­daran itu. Menurut Hegel tiap-tiap sistem filsafat mempunyai kedudukan yang wajar dan perlu dalam perkembangan filsafat. Sistem-sistem filsafat tidak bertentangan yang satu dengan yang lain. Sebenarnya setiap sistem filsafat adalah benar, tetapi kebenarannya terbatas pada taraf tertentu. Dalam filsafat Hegel, kebenaran yang sebagian itu “diselamatkan” dan diberi tempatnya dalam sistem filsafat seluruhnya. Demikianlah filsafat Hegel merupakan sintesa terakhir dan definitif dari semua filsafat yang mendahuluinya sepanjang sejarah manusia.
Tidak perlu ditekankan bahwa filsafat Hegel itu mempunyai pretensi yang luar biasa besarnya. Tetapi ternyata pemikiran ini cocok dengan sua-sana intelektual di Jerman pada waktu itu. Ketika Hegel meninggal, filsafat yang diajarkan di banyak universitas Jerman jelas berhaluan Hegelian. Dan pengaruhnya pasti tidak terbatas pada Jerman saja. Namun demikian, yang menarik ialah bahwa tidak lama kemudian didengar kritik atas pemikiran Hegel yang berdasarkan prinsip-prinsip Hegel sendiri. Mereka bertanya: mengapa filsafat Hegel merupakan sintesa yang definitif? Apa sebabnya ti­dak mungkin bahwa sesudah Hegel dialektika berlangsung terus? Dengan demikian filsafat Hegel diserangi dengan kritik yang bersifat Hegelian.
6.      EMPIRISME (HOBBES, LOCKE, HUME, SPENSER)
Pendiri dari filsafat ini adalah John Locke. Para tokoh empirisme lainnya adalah David Hume, Ludwig A. Feuerbach, dll. Salah satu tokoh empirisisme ini, Ludwig A. Feuerbach mengajarkan bahwa agama itu feeling absolute dependency (perasaankebergantungan mutlak).
Dari pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa hanya melalui pengalaman, kita baru dapat mengerti kebenaran dan agama identik dengan sebuah perasaan saja, bukan sebuah iman. Ternyata ada juga orang “Kristen” yang mentah-mentah mengadopsi pemikiran seperti ini. Misalnya, banyak “hamba Tuhan” di beberapa gereja kontemporer mengajarkan pentingnya mengalami hadirat Allah, tanpa perlu memahami dan mengenal Pribadi-Nya serta tunduk kepada-Nya. Yang penting bagi mereka, ketika berdoa dan menyembah, mereka mengalami kepenuhan dari Roh-Nya, lalu setelah itu, mereka membagikan pengalamannya kepada orang lain dan bahkan ada yang mengajarkan dengan mutlak bahwa jika tidak memiliki pengalaman seperti itu berarti tidak ada Roh Kudus.
Kegagalan cara pemikiran empirisisme adalah perasaan dan pengalaman manusia pasti berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi (atau istilahnya mood). Adalah sangat berbahaya jika orang “Kristen” tiba-tiba mengklaim sedang mengalami hadirat Allah, padahal itu hanya halusinasinya saja (seperti onani, dan pemuasan hawa nafsu lainnya, dll).
Timbulnya empirisisme pada zaman modern filsafat dikarenakan adanya rasa kebimbangan terhadap sains dan agama. Maka pada kesempatan ini kami akan menguraikan tokoh-tokoh empirisisme, diantaranya John Locke, David Hume dan Herbert Spencer. Tapi sebelumnya kami akan menjelaskan secara singkat tentang empirisisme itu sendiri.
Empirisme menurut wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia.

Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

1.      Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah orang pertama yang mengikuti aliran empirisme. Menurut Hobbes tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda itu. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan ilmu pasti dan ilmu alam.

Dunia suatu keseluruhan sebab-akibat, situasi kesadaran kita termasuk didalamnya. Filsafat hobbesfilsafat hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang yang ada secara mekanis. Ia juga adalah seorang materialis yang pertama dalam filsafat modern dibidang ajaran tentang yang ada dan seorang naturalis di bidang antropologi, serta seorang absollutis di bidang ajaran tentang negara.

Materiailis yang dianut hobbes adalah bahwa segala yang ada bersifat bendawi yaitu segala sesuatu yang tidak bergantung pada gagasan kita. Dengan demikian pengertian subtansi diubah menjadi suatu teori aktualitas.

Ajaran Hobbes tentang negara adalah semua tabiatnya manusia adalah sama. Dalam keadaan yang alamiah setiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan ingin menguasai orang lain, dan itu di bahas dalam buku yang membahas tentang lefiatan dan liliatan dengan konsepnya manusia adalah homo homini lupus (monster-monster kecil yang saling memakan satu sama lain). Tomas juga seorang empris yang mengagumi metode matematika sebagai hasil dari teori murni.

2.      John Locke
Sebelum kami menjeleskan empirisme menurut Jonh Locke pertama-tama kami membicarakan tentang biografi beliau. Dia adalah seorang filosof yang berasal dari Inggris, ia lahir di Wrington, Somersethire, pada tahun 1632. Di tahun 1647-1652 ia mengenyam studinya di Westiminster. Dan tahun ini juga ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford, mempelajari agama kresten.

John Locke merasa menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes sehingga ia menolak metode deduktif Descartes menggantikannya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman. Ia hanya menerima pemikiran metematis yang pasti dan penarikan dengan cara metode induksi.

Salah satu bukunya John Locke yang berjudul, essay concerning human undestanding (1689), tentang semua penagalaman datang dari pengalaman (Solomon:108). Dia mengatakan bahwa tidak ada ide yang diturunkan seperti yang dikatakan Plato. Dengan kata lain dia menolak innate idea atau ide bawaan.
Menurut beliau tidak ada innate (bawaan) di dunia ini, sebagaimana pendapatnya:

1.      Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa bahwa innate itu tidak ada.telah. paradikma umum telah menagatakan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Kenyataanya telah cukup menjelaskan pada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yaki melalui daya-daya yang alamiahtanpa bantuan kasan-kasan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu paengaertian asli.

2.      persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya yang inhern. Argumen ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita nengatakan innate idea itu ada padahal umum tidak mengakui keberadaanya.

3.      Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.

4.      Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.

5.      Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pad jiwa sebab pada idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berfikir.

John Locke, sebagai tokoh paling awal dalam urutan empirisme Inggris, merupakan sosok yang paling konservatif dan kurang menusuk dalam melesatkan pertanyaan keras empirisme. Namun dengan jelas dia menyatakan peran empirisme akan tiba dalam perkembangan filsafat di masa yang akan datang. Katanya, ada "Pembangun tertinggi yang rancangan terbesarnya dalam memajukan ilmu pengetahuan akan meninggalkan monumen abadi untuk penghargaan terhadap generasi selanjutnya".

Namun dia menambahkan, Cukup merupakan ambisi bekerja sebagai buruh rendahan membersihkan tanah sedikit, menghilangkan sampah-sampah yang mengotori jalan pengetahuan." Dalam perkataannya yang berbau ramalan itu Locke melihat cakrawala filsafat masa depan. Itu akan benar-benar menjadi persoalan bahwa dua pertanyaan penganut empirisme akan menyebabkan keraguan besar pada bangunan sistem filsafat besar, sehingga akan tiba waktunya di mana tak ada lagi pembangun terkuat dalam filsafat.

Saat ini sudah tidak ada pembangun filsafat tertinggi. Peta filosuf juga seperti yang diramalkan Locke: sebagai buruh rendahan, membersihkan tanah, mengambil sampah. Sampah apa yang diambil para filsuf? Tentu saja, sampah rasionalistik seperti tulisan-mlism Plato, Saint Thomas, dan Descartes. Tetapi buat apa ada buruh rendahan yang membersihkan tanah, jika tidak ada yang dibangun, dan tidak ada Pembangun tertinggi? Penganut empirisme tidak memiliki iawaban atas pertanyaan ini kecuali merasa senang sekali dapat menemukan sampah dan menghilangkannya.

Kritik Keras atas Teori Ide Innate. Sampah pertama yang dibersihkan John Locke adalah sampah yang diciptakan Descartes sendiri: Teori Ide Innate atau bawaan. Teori ini menekankan bahwa ide atau pikir yang jelas dan jernih serta terbukti merupakan bawaan, yakni bahwa ide ini "lahir bersama kita". Seperti dikatakan Descartes, ide ini : tercetak pada jiwa kita. Contoh ide bawaan adalah ide benda, sebab-akibat, Tuhan, dan prinsip logika. Pernyataan kritik keras Locke terlihat jelas dalam pertanyan "Bagaimana Anda tahu?" Data pengalaman, pengamatan indra, dan bukti empiris apa yang bisa Anda kemukakan untuk mendukung pertanyaan ini? Bisakah Anda tunjukkan dengan merujuk pada data bahwa semua manusia, sejak lahir, memiliki ide ini? Yang jelas banyak orang yang tidak memiliki ide Ketuhanan atau logika sejak dilahirkan. Apakah Anda berpendapat, seperti yang dilakukan Descartes, bahwa dengan ide bawaan atau ide seseorang dapat melihat dengan benar pada saat dia dididik untuk memahaminya? Tetapi kenyataan bahwa manusia bisa belajar memahami ide seperti itu bukan berarti ide demikian haruslah bersama manusia, atau merupakan bawaan dalam diri manusia, namun hanyalah bahwa manusia itu rasional dan mampu berpikir.

Oleh karena itu, kata Locke, teori ide innate atau bawaan merupakan sampah tak berharga. Akal pikiran bukanlah lemari yang diisi pada saat lahir dengan ide innate seperti itu. Akal pikiran merupakan lemari kosong. Dengan mengubah metaforanya,

Locke berpendapat bahwa akal pikiran merupakan lembaran kosong, kertas putih kosong pengalaman akan menulis di dalamnya, dan yang ditulis pengalaman inilah yang bisa diketahui akal pikiran. Teori Pengetahuan Locke. Dari sudut pandang Locke, semua ide pemikiran kita hanya memiliki satu sumber dan itu adalah pengalaman.

Lalu apa teori pengetahuan Locke? Sasarannya adalah untuk menunjukkan bahwa asal-mula pengetahuan kita ada pada pengalaman indra kita, melalui gambaran penerimaan akal yang dibuat oleh obyek dari luar.

Satu-satunya sumber lain pengetahuan adalah refleksi kita terhadap pengalaman indra, seperti berpikir, ragu, dan yakin. Locke mengambil-alih pandangan Descartes atas ide sebagai segala sesuatu yang disadari, dipikirkan oleh akalku, segala obyek pemikiran. Locke juga mengambil alih subyektivisme Descartes, pandangan bahwa apa yang paling aku ketahui adalah akalku sendiri dan ide yang ada di dalamnya.

Jadi di sini kita memasuki empkisme, persoalan yang melekat pada subyektivisme yang kita dapati pada Descartes: jurang pemisah atau jarak antara akal pikiranku bersama ide di dalamnya dengan obyek jasmaniah dan manusia di mana ide pikiranku merujuk di luar diriku, berada di alam sosial dan fisik. Bagaimana aku mengetahuinya jika aku telah terpaku untuk mengetahui kepastian hanya dengan ide pikiranku? Bagaimana aku bisa memiliki pengetahuan sejati menge-nai obyek, sementara obyek itu sendiri terbebas dari akalku di dunia ini?

Descartes telah merumuskan jawaban atas persoalan ini dengan teorinya bahwa kejelasan dan kejernihan ide rasionalku itu benar, karena Tuhan menjaminnya. (Tuhan dijamin keberadaan-Nya oleh kejelasan dan kejernihan pikirku. Ini adalah lingkaran Cartesian).

Oleh karena itu, Descartes berpendapat, aku bisa tahu bahwa benda jasmaniah itu ada dan bahwa benda-benda itu tersebut memiliki sifat-sifat esensialnya, sama seperti sifat-sifat yang aku punya dalam kejelasan dan kejernihan pikirku atas benda-benda tersebut, sifat yang berkembang ruangnya dan mampu bergerak.

Di lain pihak, ide pemikiranku tentang sifat yang bisa dirasa, semisal warna, bunyi, tekstur, dan rasa bukan berada pada obyek fisiknya tetapi ada padaku, hasil dari interaksi antara obyek fisik tersebut dengan organ pengindraanku. Sifat-sifat atati 'feualitas esensialnya secara matematis bisa dihitung, seperti panjang, ketinggian, dan jarak, serta berguna untuk ilmu mekanik matematis. Locke mengambil-alih ide Descartes mengenai zat fisik, yang menyusun pembedaan antara sifat atau kualitas primer dan sekunder serta menciptakan permasalahan yang benar-benar meresahkan.

Sebagai seorang penganut empirisme, Locke hanya bisa tahu mengenai apa yang tercipta menurut persepsi panca indra. Dia tidak bisa menyatakan mengetahui segala sesuatu dengan kejelasan dan kejernihan ide pemikiran rasional atau dengan bantuan Tuhan. Lalu, bagaimana dia tahu bahwa zat fisik itu ada? Apa dia pernah mempunyai pengalaman mengenai zat fisik? Bagaimana dia tahu bahwa ide pemikiran kita mengenai sifat primer, seperti yang dinyatakannya, termasuk dalam obyek fisik? Bagaimana dia tahu bahwa sifat sekunder "bukanlah apa-apa di dalam obyek itu sendiri" melainkan "sensasi dalam diri kita yang diciptakan sifat primernya?".

Jadi bola penghancur empkisme mengarah pada John Locke sendiri dan teorinya bahwa zat fisik itu ada serta memiliki sifat primer yang menciptakan kualitas sekunder dalam diri kita.

3. Harbert Spencer
Filsafat harbert spencer bepusat pada teori evolusi. Menurut Harbert Spencer segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat di ibaratkan sebuah mesin dengan sistem-sistemnya yang dinamis.

Berkembang dari hal sederhana berkembang menjadi hal yang komplek inspirasi dari kuman yang bersel satu yang merupakan awal kehidupan di bumi. Kemudian sel tersebut berubah menjadi mahluk yang bersel lebih dari satu dan ahirnya menjadi mahkluk –mahkluk lain yang rumit dan komplek.

Dia juga membayangkan manusia dan kehidupan sosialnya berevolusi dari hal yang sederhana menju hal yang komplek. Kuman yang berevolusi menjadi mahluk yang komplek merupakan kuman yang kukat dan telah mengalahkan kuman-kuman yang lain.

Hal inipun terjadi dalam kehidupan manusia. Secara alami manusia akan bertarung satu sama lain dan yang kuat akan menang. Pada zaman yang sama di benua yang lain seorang filosof bernama darwin melakuakan penelitian-penelitian tentang mahluk hidup dan mempunyai kesimpulan yang sama tentang evolusi. Hal inilah yang menyebabkan efolusi di terima di setiap penjuru dinia.

4. David Humme
Dalam teori pengenalan Humme mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impression) dan pengertian – pengertian atau ide – ide (ideas).

Humme juga tida mengakui adanya kausalitas atau hukum sebab – akibat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa penyimpulan soal – soal yang nyata tampaknya didasarkan atas hubungan sebab – akibat. Hubungan kausal itu sebenarnya suatu kepercayaan belaka. Di dalam etikanya humme membuang segala bentuk kausalitas, sebab akal hanya dapat menunjuk kepadanya adanya kesesuaian antara suatu perbuatan tertentu dengan de fakto.

Pada hakikatnya pemikiran Humme ini bersifat analitis, kritis, dan skeptis. Ia berpangkal kepada keyakinan bahwa hanya kesan – kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan, dari situlah ia sampai pada keyakinan bahwa “aku” termasuk dunia hayalan. Berarti ,dunia terdiri dari kesan – kesan yang terpisah-pisah yang dapat disusun secara objektif, sistematis, karena tiada hubungan sebab – akibat diantara kesan – kesan itu.



7.      PRAGMATISME (JAMES, DEWEY)
Pragamtisme berasal dari bahasa yunani, yaitu pragma yang berarti guna, tindakan, atau perbuatan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya. Jadi, pengertian atau keputusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. (Praja, 2005: 171)
Kelompok pragmatisme bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap an sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar keluar dari padanya.
Di bawah ini adalah beberapa tokoh atau ahli pikir yang dapat dimasukkan pada golongan penganut pragmatisme, yaitu:
1.      William James (1842-1910 M)
William James dilahirkan di New York pada tahun 1842 M, dan dosen di Harvard University dalam mata kuliah anatomi, fisiologi, psikologi dan dan filsafat. Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychlogy (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Riligious Experience (1902), dan Pragmatism (1907)
Ia memandang pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama: pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan, kedua: merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan malalui pengertian. (Mustasyir, 1999: 95)
Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaanya secara praktis.
Di dalam bukunya “The Meaning of Truth” James mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. (Sudarsono, 2001: 337)
Di dalam bukunya, The Varietes of Riligious Experience, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. (Praja, 2005: 172).
Tentang definisi agama, James mengambil definisi psikologi, bahwa agama merupakan perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia individual dalam kesunyian bersama Yang Maha Tinggi. Intinya kepercayaan pada ketinggian. Ia mengatakan bahwa agama itu perlu karena berguna bagi kehidupan manusia, membuat orang jadi lebih baik.
Ada kebenaran yang yang dapat di uji secara epiris, ada kebenaran yang hanya di uji secara logis, bahkan ada kebenaran yang hanya dapat di uji dengan kekuatan rasa.
Bagi James, pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru. Pengertian atau keputusan itu benar, tidak saja jika terbukti artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam ilmu, seni, dan agama. (Poedjawijatna, 1980: 128)
2.      John Dewey (1859-1952 M)
Dewey lahir di Baltimore dan kemudian menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kamudian juga di bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Colombia (1904-1929).
Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. (Praja, 2005: 173)
Bagi John Dewey, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. ((Poedjawijatna, 1980: 128)
Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis. Oleh karena iu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran yang metafisis yang tidak ada gunanya.
Pandangan tentang penyelidikan, benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-stilah penyelidikan. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah. ((Sudarsono, 2001: 339)
Mengenal adalah berbuat. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini bukan hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisasi” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata “futurisme” mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, kata “milionarisme” berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita.
8.      EKSISTENSIALISME (KIERKEGAARD, SARTRE)
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang lahir pada abad XIX oleh Søren Kierkegaard. Eksistensialisme membicarakan tentang eksistensi seorang individu khususnya relasi antara individu dengan sistem, Ada dan absurditas, esensi dan makna sebuah pilihan keputusan, pengalaman, dan intensionalitas. Aliran filsafat ini booming setelah Perang Dunia II oleh Martin Heidegger dan menyebar secara luas di seluruh Eropa, bahkan dunia.
1.      Søren Kierkegaard
Cetusan eksistensialisme yang digaungkan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung mempersoalkan realitas secara universal dan mengabaikan eksistensi individu. Secara khusus epistemologi Kirkegaard merupakan suatu usaha untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan. Kierkegaard melihat bahwa ide “abstraksionisme” Hegel merupakan suatu pereduksian terhadap manusia konkrit atau individu bahkan kesadaran manusia konkrit hanyalah sebuah dialektika dalam roh. Oleh karena itu, Kierkegaard melihat Hegelianisme sebagai ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekadar titik atau percikan dalam sejarah. Dengan kata lain, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal, menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi sebagai “aku individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai individu yang bereksistensi. Eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan.” Oleh karena itu, Kierkegaard membedakan tiga tahap kehidupan eksistensial, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.
a.      Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard
Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.
Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.
b.      Dialektika Eksistensial Søren Kierkegaard
Dialektika eksistensial yang dilontarkan oleh Kierkegaard berangkat dari gugatannya terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu sendiri. Sebelum masuk kepada gagasan Kierkegaard tentang dialektika eksistensial, penulis menguraikan terlebih dahulu bagaimana pandangan Hegel tentang dialektika.
Salah satu metode yang digunakan oleh Hegel dalam menguraikan filsafatnya adalah metode “dialektika.” Hegel menggunakan metode dialektika bukan hanya sekadar untuk menguraikan filsafatnya, tetapi dengan menggunakan metode ini, Hegel mau mencetuskan bahwa kenyataan atau realitas merupakan suatu proses dialektis. Proses dialektis dalam pemikiran Hegel merupakan produk dari realitas pengalaman hidup sehari-hari melalui dialog dengan orang lain. Proses dialektis yang dipahami oleh Hegel dapat kita lihat dari argumen yang dilontarkan oleh Hegel. Misalnya: apabila dalam sebuah dialog/percakapan terdapat sebuah pendapat dan pendapat itu ditentang oleh pendapat lain, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Menurut Hegel, apabila ada oposisi semacam ini, kita berusaha untuk mendamaikan keduanya dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Tahap ini menurut Hegel disebut sebagai proses dialektis, yaitu tahap tesis, sintesis dan antitesis.
Tesis Hegel tentang dialektika ditentang oleh Kierkegaard dengan asumsi bahwa tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi manusia tidak dapat didamaikan melalui pemikiran proses rasionalisasi dan dialektis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel memahami Roh Mutlak sebagai proses dialektis, maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu perkembangan kehidupan eksistensial individu. Selain tidak setuju dengan dialektika Hegel, Kierkegaard juga tidak menerima pemikiran Hegel yang cenderung berpikir baik... ataupun... . Menururt Kierkegaard, peralihan dari satu tahap ke tahap lain tidak dilakukan dengan pemikiran melainkan dengan keputusan kehendak atau pilihan bahkan dengan suatu lompatan. Oleh karena itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius.

c.       Tahap Estetis
Terminologi estetis berasal dari kata Yunani, yang berarti mengindrai, mencecap. Menurut Kierkegaard, pada tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan kata lain, individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan.
Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan ini, Kierkegaard menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan seorang tokoh dalam opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus seorang Yahudi yang dalam pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa yang dia menikmati terus menerus terulang. Demikian pula dengan Faust yang menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia mampu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan Ahasueres menurut Kierkegaard merupakan personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang tidak jelas.
Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada eksistensi yang baru. Tahap ini disebut sebagai tahap etis.
d.      Tahap Etis
Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu mulai secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya. Pada tahap ini individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan penguasaaan diri menghantar individu untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan ukuran-ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.
Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Pada tahap ini, manusia menyadari keadaannya yang tragis. Kierkegaard menampilkan Sokrates sebagai “pahlawan tragis.” Menurut Kierkegaard, kendatipun Sokrates mengakui kelemahan-kelemahan manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahan-kelemahan manusia dapat diatasi dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates menyangkal dirinya demi asas-asas moral universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki realitas kehidupan yang mendalam sehingga dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang baru, yaitu tahap religius.
e.      Tahap Religius
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia, yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi manusia.
Pada poin ini, Kierkegaard menampilkan Abraham sebagai tokoh orang beriman sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak, pada saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun satu relasi intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar meninggalkan tahap etis dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan dengan Yang Absolut, dengan Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat mutlak dan tidak dapat diukur dengan akal manusia.
f.        Tinjauan Kritis Atas Konsep Eksistensialisme Søren Kierkegaard
Eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kierkegaard merupakan suatu aliran filsafat yang hendak memperjuangkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang berarti keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti tampil, menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia ini. Dari pengertian ini dapat kita pahami bahwa eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang menggeluti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi terutama eksistensi manusia. Manusia dilihat bukan dari esensinya melainkan eksistensinya. Oleh karena itu, kaum eksistensialis khususnya Kierkegaard melihat manusia sebagai individu yang bereksistensi tidak dapat direduksi ke dalam realitas-realitas lain, karena eksistensi bukanlah suatu persona yang universal melainkan individual.
Konsep eksistensialisme yang dicetuskan oleh Kiekregaard menurut penulis mengakibatkan dua hal, yaitu positif dan negatif. Secara positif, Kierkegaard membangun satu sistem filsafat yang menempatkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Oleh karena itu, manusia tidak pernah dapat direduksi ke dalam realitas-realitas universal dan abstrak, karena apabila manusia direduksi ke dalam realitas-realitas abstrak dan universal, maka manusia tidak pernah memiliki kebebasan untuk merealisir atau mewujudkan dirinya sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Hal ini disebabkan oleh karena manusia tergantung kepada realitas-realitas itu sendiri. Dengan kata lain, realitas-realitas itu memiliki hukum-hukumnya sendiri dan ketika hukum-hukum itu diterapkan kepada individu yang bereksistensi, maka individu itu mau tidak mau harus mengikuti hukum-hukum itu. Ia tidak pernah merealisir diri sebagaimana adanya. Dengan demikian, Kierkgaard menyadarkan kita bahwa kita adalah individu yang eksis, pribadi-peribadi yang sadar bukan sekadar sebagai bagian dari suatu kerumunan, angka-angka dalam suatu kelompok atau benda-benda dalam suatu kumpulan melainkan sebagai pribadi yang bereksistensi.
Sebagai dampak negatif, Kierkegaard tidak memperhatikan realitas bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk relasional. Sebagai makhluk relasional, manusia tidak bisa lepas dari realitas sosial bahwa manusia hidup dalam relasi dengan orang lain. Manusia tidak pernah hidup dalam kesendirian. Manusia selalu membutuhkan dan membangun relasi dengan orang lain. Oleh karena itu, menurut penulis manusia tidak cukup hanya bereksitensi untuk dirinya sendiri tetapi manusia bereksistensi untuk dirinya sendiri tanpa mengabaikan orang lain sebagai bagian dari kehadirannya sebagai individu. Dengan kata lain, Kierkegaard kurang menghargai hidup bersama dengan orang lain.
g.      Relevansi
Bertitik tolak dari ketiga tahap eksistensial manusia, penulis melihat bahwa apa yang digagas oleh Kierkegaard masih sangat relevan untuk zaman sekarang terutama bagaimana manusia sebagai individu secara bebas menentukan pilihannya dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam mengambil keputusan, manusia sebagai individu tidak pernah bergantung kepada dorang lain. Orang lain tidak berhak atas setiap keputusan individu untuk dirinya sendiri, tetapi individu tidak bisa mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.
2.      Sartre
Tuhan telah lepas dan meninggalkan sebentuk lubang dalam diriku” (Jean-Paul Sartre)
Dekade 60-an abad lalupraktis menjadi milik Sartre. Saat itu dunia dilanda demam y ang membuat hampirtiap orang mengenal namanya, dan berbondong-bondong   entahbiskan diri mengikuti alur pikirannya. Mungkin inilah kali pertama filsafat menjadi sebuah gaya hidup yang populer.
Filusuf Prancis ini sejak kecil tenggelam di lembar demi lembar buku, mengenal nama-nama sebelum mengenal dunia. Ia yang sejak remaja tak lagi mengenal Tuhan, menghambakan diri pada kesusastraan, dan mendapat penghargaan Nobel susastra pada tahun 1964, namun ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya, dan enggan diidentikkan dengan kaum borjuis serta kapitalis. Pada sekitar periode itu pula ia menjelma sebagai eksistensialis nomor wahid, dan juru bicara humanisme yang paling
depan. Pemikirannya membentangi tema-tema susastra, politik, kemanusiaan,
kebebasan, dan lainnya.
a.      Masalah “Ada”
“Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filusuf-filusuf eksistensialis berkata, ”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.
Bagi Sartre manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar  enda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.
Untuk memperjelas masalah ini, filusuf bermata juling ini menciptakan dua buah istilah;  tre-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.
Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnya être-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi.
Sementara manusia, dengan Ada yang bersifat être-pour-soi, eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati.
Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus.
Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya.
b.      Ateisme Sarte
Sudahkita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda, tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau menjadikan yang lain sebagai benda.
Dalam konsepsi agama, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya, pola esensi yang dimiliki manusia adalah yang  ifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia menjadi benda.
Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis dari Prussia yang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.” Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan Tuhan.
c.       Kebebasan manusia
Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan?
Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka!
Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.
Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”
Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.
d.      Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri
Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran  dari para kritikusnya.
”Dosa asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kita menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre.
Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu.
Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertemu dengan jenis yang sama.
Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi  ojek, dan sayalah subjeknya.
Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).
Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.”
Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.
3.      Kierkegaard dan Sartre
Kedua-duanya adalah filsuf eksistensialisme. Mereka mengajari kita bagaimana hidup sebagaimana diri kita sebenarnya. Kita selalu memilih dalam menjalani hidup, lalu kita harus berkomitmen –kita bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan itu– dan jangan pernah sesali. Secara garis besar Kierkegaard dan Sartre mengajari tema yang sama hingga pada poin religius. Kierkegaard mengimani bahwa kepenuhan kemanusiaan adalah ketika seseorang hidup di dalam Tuhan, tapi Sartre percaya bahwa kita tidak membutuhkan Tuhan untuk meraih kepenuhan kemanusiaan.

1 komentar: